TEMPO Interaktif, Bandar Lampung - Sebanyak 625 pemain pemusik Lampung memainkan gamolan, alat musik tradisional khas Lampung, selama 25 jam tanpa henti secara bergantian. Mereka dibagi dalam 25 grup dan memainkan berbagai komposisi sejak kemarin hingga hari ini, 8 Desember 2011. "Setiap jam berganti kelompok pemusik. Mereka dari anak sekolah dasar hingga pemusik profesional," kata Relliyani, ketua panitia pergelaran musik gamolan.
Relliyani mengatakan, pergelaran ini untuk menghidupkan kembali seni "penggamolan", yang sudah ada lebih dari 2.000 tahun silam di masyarakat Lampung Barat dan Waykanan. Gamolan merupakan alat musik yang terbuat dari bambu, seperti gamelan, dan sudah dimainkan masyarakat Balikbukit, Lampung Barat, sebelum Candi Borobudur berdiri, karena sudah terukir di relief candi tersebut. "Gamolan merupakan instrumen tunggal, tidak seperti gamelan di Jawa yang merupakan seperangkat musik yang dimainkan bersama atau ansambel," katanya.
Dia berharap warga Lampung tersadar dengan keberadaan seni gamolan. Alat musik itu diperkenalkan dan telah menjadi obyek penelitian bertahun-tahun oleh Prof Margaret J. Kartomi, guru besar etnikmusikologi di Monash University, Australia. "Kami akan mematenkan alat musik gamolan sebagai alat musik asli Lampung agar tidak diklaim negara lain. Secepatnya akan kami daftarkan," kata Wakil Gubernur Lampung Joko Umar Said.
Menurut Joko, pergelaran musik gamolan ini ditargetkan akan memecahkan rekor dunia dan dicatat dalam Museum Rekor Indonesia. Dengan tercatat dalam buku rekor, alat musik khas Lampung itu bisa lebih dikenal di dalam dan luar negeri. "Alat musik itu masih terlalu asing di masyarakat Lampung. Mereka banyak yang kaget karena gamolan merupakan alat musik yang sangat tua," katanya.
Margaret J. Kartomi, peneliti alat musik di Indonesia, mengatakan, gamolan sudah dimainkan oleh raja-raja Majapahit seperi tertulis dalam buku Negara Kertagama. Dalam buku itu, kata dia, dikatakan bahwa salah seorang raja memainkan gamolan seorang diri. "Itu artinya, bukan gamelan yang harus dimainkan beramai-ramai. Itu hipotesis saya," kata perempuan berusia 71 tahun yang sudah meneliti alat musik itu sejak 1980-an.
Persentuhan Margaret dengan gamolan berawal saat ia melakukan perjalanan dari Bengkulu menuju Liwa, Lampung Barat. Di Liwa pada 1980 lalu, tepatnya di daerah Balik Bukit, ia mendengarkan sebuah alat musik yang unik dimainkan oleh sejumlah warga di sana. "Alat musik ini sangat unik. Ada delapan bilah bambu sebagai bilah gamelan yang bisa dimainkan. Tapi satu nada hilang, yaitu nada 'fa'. Itu sangat misterius dan menjadi obyek penelitian yang menarik bagi kami," kata perempuan yang mendapat gelar Ratu Berlian dari masyarakat Balik Bukit itu.
NUROCHMAN ARRAZIE