TEMPO Interaktif, Bandung - Putu Wijaya mementaskan karya monolog terbarunya di Bale Rumawat Universitas Padjadjaran, Bandung, Sabtu 3 Desember 2011. Berjudul Sejarah, Putu mengangkat persoalan penghapusan pelajaran sejarah Indonesia di sekolah internasional.
Putu membagi lakonnya dalam dua kisah. Awalnya tentang kemerdekaan lewat dialog antara kakek dan cucunya. Cerita bergulir ke sebuah keluarga yang anaknya keranjingan main komputer dan Internet. Karna, nama anak itu, dianggap bodoh karena tak suka membaca buku.
Saat ujian nasional tiba, kedua orang tuanya berdoa agar anaknya lulus dengan nilai baik, sehingga bisa diterima di sekolah negeri. Tak dinyana, Karna ternyata seorang anak jenius. Seluruh hasil ujiannya bernilai rata-rata 10.
Karna sontak terkenal. Sebuah sekolah internasional meminangnya dengan iming-iming sekolah gratis. Namun ia menolak karena sekolah itu tak punya pelajaran sejarah Indonesia dalam program belajarnya. "Bagaimana saya menjadi Indonesia jika saya tak belajar sejarah Indonesia," kata Putu.
Menurut Putu yang menjadi penulis naskah, aktor, sekaligus sutradara dalam pementasan itu, lakon tersebut diangkat setelah mendengar penyesalan seorang menteri. Katanya, ada satu jurusan di sebuah SMA internasional yang tidak mengajarkan sejarah. Naskah itu juga dibuatnya untuk tayangan film di televisi swasta.
Pementasan sepanjang 120 menit itu memakai tata panggung dan perabot sederhana. Lantai panggung yang ditinggikan setingkat hanya diisi sebuah kotak kayu yang dibalut kain bekas spanduk. Kotak kayu itu berfungsi sebagai komputer juga daun pintu. Sedangkan kain yang terulur dari kotak itu menggantikan sosok tubuh Karna yang terbaring di kasur.
ANWAR SISWADI