TEMPO Interaktif, Ternate - kapal memang terlambat ditambat tapi masih kusaksikan segaris pelangi berlari-lari lalu berhenti menjadi lengkung di bibirmu lalu sebentang kampung halaman terkenang dalam rumah kian mengecil.............
kapal memang terlambat ditambat
tapi masih kusaksikan segaris pelangi berlari-lari
lalu berhenti menjadi lengkung di bibirmu
lalu sebentang kampung halaman terkenang
dalam rumah kian mengecil
………………….
Baca Juga:
Puisi berjudul Kampung Halaman karya penyair Dheny Jatmiko itu dibacakan dengan jernih oleh artis Happy Salma, di Lapangan Ngara Lamo, Ternate, Maluku Utara, Selasa malam, 25 Oktober 2011, lalu. Pembacaan ini ikut menandai dimulainya perhelatan Temu Sastrawan Indonesia (TSI) ke-4 yang berlangsung sepanjang pekan lalu (24-28 Oktober) di Bumi Kie Raha—sebutan untuk kawasan Maluku Utara.
Sekitar 120 sastrawan seluruh Indonesia hadir dalam acara tahunan ini. Tampak di antaranya Acep Zamzam Noor (Jawa Barat), Bambang Widiatmoko (Jakarta), Zen Hae (Jakarta), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Arter Penther Olii (Sulawesi Utara), Muhammad Ibrahim Ilyas, Nukila Akmal (Ternate), dan lain-lain. Juga tampak para sastrawan muda, seperti Fatih Kudus Jaelani (NTB), Ishack Sonlay (NTT), Bandung Mawardi (Surakarta), Sofyan Daud (Ternate), Ni Made Purnamasari (Bali), dan lain-lain.
Entah apa alasan Happy memilih puisi itu dari ratusan puisi dan cerpen yang dirangkum dalam buku berjudul Tuah Tara No Ate (Bunga Rampai Cerpen dan Puisi Temu Sastrawan Indonesia ke- 4) ini. Tetapi puisi dengan pengucapan yang bersahaja semacam itu memang menjadi penanda utama kecenderungan sajak-sajak mutakhir. “Saya banyak menemukan pengucapan semacam itu pada penyair-penyair muda yang mengirimkan karyanya untuk TSI ini,” kata D. Kemalawati, penyair dari Aceh yang menjadi kurator TSI, kepada Tempo.
Menurut Kemalawati, tiga kurator puisi lain, yakni Joko Pinurbo, Rudi Fofid, dan Isbedy Stiawan Z.S. juga memiliki kesimpulan serupa. Namun meski sederhana dan tidak dirumit-rumitkan, “Karya-karya penyair itu tetap menawarkan imajinasi yang menarik,” kata dia.
Kemalawati mencontohkan, karya-karya yang ditulis oleh Anis Sayidah (Bandung), Ahmad David Kholilurrahman (Jambi), dan lain-lain. Puisi Anis Sayidah berjudul Kancing Mata, misalnya, memang terlihat tak berpretensi untuk menjadi pelik.
Bulat serupa apel Deddy Paw/ bisa mengelabui siapa saja yang suka/ tertindih di antara lipatan kemeja/ menahan diri dari nafsu pandang/ menembus getar payudara
Penerbitan bunga rampai sastra itu hanya satu dari banyak kegiatan yang digelar panitia. Salah satu acara lain diberi tajuk “Pesta Pora Sastra” yakni pembacaan karya sastra di tempat-tempat umum, seperti taman kota, mal, benteng, pantai, dan lain-lain.
Para sastrawan juga terlibat diskusi dengan empat tema besar, yakni Estetika Sastra Indonesia Abad 21 (pembicara Manneke Budiman dan Afrizal Malna), Komitmen Sosial dalam Sastra Indonesia (Eka Kurniawan dan Hilmar Farid), Pengembangan Komunitas Sastra (Firman Venayksa, Sofyan Daud, Bandung Mawardi, dan Azhari Aiyub), dan Telaah Karya Sastra Dekade Terakhir (Bramantio).
Dalam hal perkembangan cerita pendek, kurator TSI menilai para satrawan banyak mengangkat tema baru, namun tidak disertai cara pengucapan yang baru. “Yang menonjol adalah adanya kecenderungan mereduksi konflik sebagai unsur penting pembangun cerita,” tulis tim kurator dalam pengantar bunga rampai. Tim ini terdiri dari Nukila Akmal, Linda Christanty, Triyanto Triwikromo, dan Sihar Ramses Simatupang.
S. Prasteyo Utomo, cerpenis senior dari Semarang, menilai perkembangan semacam itu wajar saja. Menurut dia, para penulis muda memang masih melalui fase pencarian bentuk. “Dan forum TSI ini akan membuat mereka kian berkembang karena terjadi gesekan kreatif di antara mereka,” katanya kepada Tempo. Dia melihat cerpen-cerpen yang terpilih dalam bunga rampai cukup menjanjikan bagi masa depan sastra Indonesia.
Manneke Budiman mengungkapkan sejak lengsernya Presiden Soeharto pada 1998, produksi budaya memang seperti mengalami renaissance. Pengarang dan karya bermunculan demikian deras. Di tengah situasi demikian, tidak mudah menjawab pertanyaan apakah telah lahir estetika baru dalam sastra Indonesia.
Namun dia melihat sebenarnya ada sebentuk estetika baru yang tengah berproses. “Belum sepenuhnya jadi dan mapan, namun ada karakteristik yang menjadi indikator pembeda dengan kecenderungan sebelumnya,” kata dia.
Karakteristik itu adalah 1) tiadanya utopia modernis bahwa perubahan bisa ditempuh secara radikal dan cepat, 2) adanya kesadaran bahwa kebaruan yang ditawarkan tetap terkontaminasi ideologi Orde Baru yang hendak ditinggalkan, 3) adanya keyakinan bahwa marjinalitas adalah posisi strategis untuk melahirkan gagasan baru, dan 4) hadirnya kontemporaritas yang menggunakan masa kini sebagai pijakan untuk melahirkan pemikiran baru.
Empat hari bergelut dalam proses kreatif membuat para sastrawan itu optimistis. Fatih Kudus, misalnya, penyair muda asal NTB ini menilai TSI sangat berarti bagi dirinya dan juga dunia satra di NTB. Menurut dia, inilah untuk pertama kalinya sastrawan dari NTB berpartisipasi dalam sebuah perhelatan nasional. “Saya harap ini akan membuka perkembangan bagi sastra di daerah kami,” kata dia. Penggala sajak berjudul Rindu Yang Terlepas Di Ginte yang ia tulis seolah menyiratkan hal itu:
Datangku, hanya untuk tersenyum padamu/ di ginte kan kulepas beribu sajak tertanam/ yang tumbuh pada bait-bait jalanan/ di bawah pohon palem taman kota…
TULUS WIJANARKO