TEMPO Interaktif, Banyuwangi - Selepas magrib, seluruh warga Desa Kemiren duduk di sepanjang jalan desa. Mereka berkumpul dengan keluarga dan kerabat masing-masing. Di tengah-tengah mereka, sajian tumpeng pecel pithik dan berbagai sayuran hasil pertanian desa menjadi santapan wajib.
Dari arah timur, arak-arakkan barong diiringi tabuhan gamelan bertalu-talu. Bunyi kuntulan yang datang dari barat juga begitu riuh. Dua kesenian khas desa setempat itu kemudian bertemu di depan masjid desa, berkolaborasi menghasilkan musik tradisional yang begitu indah.
Ketika bunyi petasan mulai menggelar, beberapa pemuda desa mulai menyalakan obor dari bambu yang ditancapkan di sepanjang jalan. Inilah pertanda waktu makan bersama telah tiba.
Itulah suasana di Desa Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur, saat menggelar tradisi Tumpeng Sewu, Kamis malam, 27 Oktober 2011. Makan tumpeng pecel pithik bersama-sama menjadi acara puncak dalam tradisi yang telah digelar turun-temurun itu.
Tumpeng sewu artinya tumpeng yang berjumlah seribu. Disebut demikian karena biasanya setiap kepala keluarga mengeluarkan tumpeng minimal satu. Di desa yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Kota Banyuwangi itu dihuni 1.025 kepala keluarga.
Tumpeng pecel pithik memang menjadi kuliner khas desa Using itu. Pecel pithik terbuat dari ayam kampung yang dibakar, kemudian dicampur dengan parutan kelapa yang lebih dulu diberi bumbu. Saat saya ikut menyantap pecel pithik dengan nasi hangat, rasa gurih masakan tradisional itu cukup menggoyang lidah.
Kepala Desa Kemiren, Ahmad Abdul Tahrim, mengatakan, tradisi tersebut dilaksanakan supaya Tuhan Yang Maha Esa senantiasa menghindarkan desa dari segala musibah. "Semoga Tuhan terus memberikan kebaikan dan berkah," katanya kepada Tempo.
Sejak pagi hari, berbagai macam kegiatan mengisi tradisi ini. Dimulai pada pukul 08.00 WIB, seluruh warga menjemur tempat tidurnya (kasur) berjajar di tepi jalan desa. Uniknya, ratusan kasur itu berwarna sama, yakni hitam-merah.
Latri, 70 tahun, menceritakan, kasurnya telah berusia lebih dari setengah abad. Kasur tersebut merupakan hadiah dari orang tuanya ketika dia menikah pada usia 17 tahun. "Adatnya memang begitu. Kalau ada anak perempuannya menikah, orang tua memberi kasur hitam-merah," kata Latri kepada Tempo dalam bahasa daerah Banyuwangi.
Warna hitam-merah pada kasur warga Kemiren ini memiliki makna mendalam. Merah berarti simbol semangat dan hitam adalah simbol kelanggengan. Dengan tidur di kasur itu, diharapkan rumah tangga si pengantin menjadi langgeng.
Ketika kasur-kasur selesai dijemur pada sore hari, warga kemudian menuju makam Buyut Cili, seseorang yang mereka anggap sebagai penghuni desa pertama kali. Di makam itu, warga menggelar syukuran sambil memanjatkan doa-doa.
Setelah dari makam, ratusan warga menggelar arak-arakkan barong berkeliling kampung. Barong Kemiren mirip dengan Barong Bali, namun bentuknya lebih kecil. Selain menjadi kesenian khas, barong cukup disakralkan warga setempat dan menjadi simbol utama dalam setiap upacara adat.
Ketua Adat Desa Kemiren, Purwadi, menjelaskan, tradisi Tumpeng Sewu dilaksanakan setiap pekan pertama dalam bulan Syuro atau Dzulhijjah pada hari Kamis atau Minggu. Kedua hari ini dianggap sebagai hari baik bagi warga Kemiren dalam melaksanakan semua tradisi. "Biasanya kalau tidak hari Kamis, kita melaksanakan hari Minggu," ungkapnya.
Bila pada bulan Dzulhijjah warga Kemiren menggelar Tumpeng Sewu, pada bulan Syawal, tepatnya hari kedua Lebaran, warga juga melaksanakan tradisi Barong Idher Bumi. Dalam tradisi ini, barong juga menjadi simbol utama desa yang diarak keliling kemudian berakhir pula dengan makan bersama tumpeng pecel pithik.
IKA NINGTYAS