TEMPO Interaktif, Yogyakarta -
Yen pasar telo ilang kumandange
Menyang mall-mall ibu-ibu podo belonjo
Milih roti kliru
Arep jogo gengsi tibane mek gelo
Pantun Sindhunata itu seolah menjadi pelengkap karya Sigit Bapak berjudul Super Telo. Di depan pintu masuk Bentara Budaya Yogyakarta, perupa kelahiran Lampung 1976 itu meletakkan sebuah troli bergagang merah beroda empat. Di dalammnya, belasan ketela sebesar lengan dan paha orang dewasa bertumpuk memadati. Berbeda dengan ketela yang dijual di pasar tradisional, ketela “Sigit” ditempeli barcode laiknya dagangan di pasar modern.
Inilah satu karya 26 perupa Yogyakarta dalam pameran bertema Pasar Ilang Kumandhange “Mletho” di Bentara Budaya Yogyakarta. Pameran yang berlangsung 17-26 September 2011 itu merupakan satu dari dua pameran yang digelar untuk memperingati 29 tahun Bentara. Sebelumnya, pameran bertema pasar; -Pasar Kencrung- digelar 10-15 September 2011.
Pasar Ilang Kumandhange adalah ekspresi para perupa terhadap posisi pasar tradisional di tengah kepungan pasar modern. Karya Sigit misalnya, segera membawa ingatan kita pada Pasar Telo, Karangkajen, Yogyakarta. Di kanan-kiri pasar di jalan Imogiri Barat itu kini berdiri pasar modern, mini ataupun super.
Karya Rommy Setiawan berjudul Menjadi Lupa memperkuat narasi itu. Seperti karyanya terdahulu -pameran HaHaHaHa…Citra Humor Dalam Lukisan yang digelar pertengahan Juni lalu di Bentara, perupa kelahiran Mojokerto 1985 itu berkarya dengan teknik menggambar dengan pensil.
Di atas selembar kanvas berukuran 102X74 sentimeter, pada Menjadi Lupa, Rommy menggambar keriuhan orang-orang di pasar tradisional. Ada yang nongkrong di warung, menjual ayam hingga bermain musik di pinggir jalan. Aktifitas itu mereka lakukan di sebidang tanah kosong berlatar belakang gedung-gedung bertingkat. “(Gedung itu) simbol mall yang mengepungnya,” kata dia, Minggu (25/9).
Menurut dia, gambar itu merupakan ekspresinya untuk mengungkapkan ambisi belanja manusia modern. Mereka, kerap kali, belanja tak hanya untuk mencukupi kebutuhannya. Namun sekaligus gaya hidup dan trend. Barang-barang yang dibeli pun, sekedar menjadi pemuas ambisi belanja belaka.
Ambisi itu dia gambarkan dengan idiom Dasamuka. Bentuknya, seorang penunggang Vespa yang berjalan terbalik di atas gedung-gedung. Sosok penunggang itu, dia gambarkan berkepala 10 (Dasamuka). Lantaran ada 10 kepala maka ada 10 otak. Dan ada 10 keinginan berbeda pula dari tiap kepala. “Banyak keinginan jadinya,” kata dia menterjemahkan karyanya.
Meredupnya pasar tradisional di tengah kepungan pasar modern sekaligus telah mengikis fungsi sosial pasar tradisional. Melalui karyanya yang berjudul The Metric of Distance, Rifqi Sukma menampilkan sebuah karya berupa timbangan berwarna merah dalam kombinasi garis kuning. Di atasnya, dia letakkan wadah timbangan. Kosong melompong tanpa isi.
Inilah sindiran Rifqi tentang masalah pasar tradisional yang sekarat akibat “tergusur” pasar modern. Bagi perupa asli Yogyakarta berusia 31 tahun itu, pasar tradisional tak hanya berfungsi sebagai kawasan transaksi jual-beli saja. Di pasar tradisional, ada sebuah relasi sosial antara pedagang dan pembeli yang terjalin. Pedagang tak hanya mencari untung, adapun pembeli tak sekedar mencari barang murah. Ada nilai silaturahmi di dalamnya.
Meminjam karya Rommy, Sindhunata menilai fenomena itu tak bisa dilepaskan dari fungsi negara yang semestinya melindungi warganegaranya. Pasar sengaja digerojog barang-barang kebutuhan semu. Kebutuhan itu sengaja diciptakan, melalui iklan dan pencitraan. Bukan karena memang dibutuhkan masyrakat. Inilah ambisi Dasamuka itu. Melalui sajaknya, keprihatinan itu terbaca.
Yen pasar ilang kumadange
Wakile rakyat senenge ngapusi
Wong cilik terus dikhianati
Golek swara mung kanggo korupsi
ANANG ZAKARIA