TEMPO Interaktif, Jakarta - Perempuan muda berbalut kain putih itu duduk di tepi kolam. Berkali-kali dia membasuh wajahnya dengan air kolam yang bertabur kelopak mawar. Perlahan-lahan perempuan itu berenang menyeberangi kolam, mendekati sesosok laki-laki yang tengah duduk bermeditasi. Perempuan itu berdiri tepat di depan sang lelaki. "Duh, opo dosaning rogo..." kata perempuan itu lirih sebelum melompat ke atas tubuh lelaki yang kini rebah.
Perempuan itu berkuasa atas tubuh si lelaki yang hanya terbaring pasrah. Sebuah adegan persetubuhan yang erotis, tapi berakhir pada kematian yang brutal. Tubuh perempuan itu terlempar dan tersungkur di anak tangga. Diam tak bergerak. Hanya terdengar selarik kalimat yang ditembangkan S. Pamardi, yang memerankan sang lelaki, "Layonira, mirah adi, dadiya jimating prang." Suara musik yang dibawakan pengrawit menyemburkan kesan imagis.
Inilah salah satu adegan dalam pertunjukan Panji Sepuh yang dipentaskan di Teater Salihara, kemarin dan malam nanti. Kali ini Panji Sepuh akan diiringi dengan musik kontemporer gubahan Tony Prabowo serta tembang gubahan Goenawan Mohamad. Sebagai sebuah karya pertunjukan, Panji Sepuh tak memiliki plot maupun narasi yang linear. Hanya serangkaian imaji yang bergerak tak kunjung henti. "Orang bebas memberi makna," ujar Yudi Ahmad Tadjudin, sutradara Panji Sepuh, seusai gladi resik, Rabu malam lalu.
Panji Sepuh bukanlah sebuah karya baru. Repertoar tari ini diciptakan pertama kali pada 1993 sebagai hasil kolaborasi Sulistyo Tirtokusumo, Tony Prabowo, Goenawan Mohamad, dan sejumlah penari. Karya ini terilhami oleh sebuah ritual dalam tradisi Keraton Surakarta. Sebuah tari rahasia--yang magis dan misterius--yang wajib ditarikan oleh pangeran pewaris takhta Pakubuwono di relung-relung keraton terdalam. Meskipun tak bernaskah seperti lazimnya pertunjukan teater, Panji Sepuh tetaplah sebuah karya yang tersusun dari serangkaian komposisi gerak, obyek, imaji, kata, dan bunyi yang berlatar tradisi Keraton Surakarta.
Namun sebagai sebuah pertunjukan, Panji Sepuh bukanlah sebuah karya yang stagnan. Berkali-kali dipentaskan, dia selalu hadir dalam wujud berbeda. Sebuah karya kontemporer berdasarkan tradisi Jawa. Pada pementasan kali ini, Panji Sepuh kembali hadir dalam tafsir baru. Yudi menerjemahkannya berdasarkan sebuah pertanyaan, "Apa gerangan dosa tubuh?" yang dia dengar dari tembang yang liriknya digubah oleh Goenawan Mohamad.
Jadilah Panji Sepuh versi Yudi hadir sebagai sebuah dialog tentang tubuh yang kian diperebutkan pemaknaannya oleh banyak institusi--baik ekonomi maupun religi. Gerak pelan dan meditatif khas bedhoyo yang disuguhkan para penari di awal adegan menjadi simbol dari tatanan masyarakat itu. Lalu di satu adegan, para penari mengenakan topeng yang sebelumnya berserakan di lantai. "Ketika mengenakan topeng, mereka menjadi subyek," ucap Yudi.
Topeng-topeng itu kemudian dilepas dan dilempar ke lantai hingga hancur berkeping-keping sebagai lambang kematian subyek. Adegan hujan deras yang tiba-tiba mengguyur panggung menjadi kejutan Yudi yang lain. Di atas panggung, para penari yang berkemben warna-warni dan berkain gelap itu terus menari meski tubuh dan rambut mereka basah kuyup.
Dialog yang memberikan ruang bagi penonton untuk memberikan tafsirnya sendiri itu digelar di panggung yang diset laksana pelataran belakang keraton. Set panggung garapan Ignatius Sugiarto itu dilengkapi dengan dua buah tangga melingkar yang menaungi sebuah kolam kecil. Mengingatkan kita pada kolam kecil di surau bawah tanah yang ada di kompleks Taman Sari Yogyakarta. Hanya salah satu tangga itu dibiarkan tidak utuh. "Saya memang ingin memberi tubuh yang agak konkret, bukan simbolik," kata Yudi, yang juga pendiri Teater Garasi Yogyakarta. Tangga yang tak utuh itu sebagai lambang dari tubuh yang separuh rusak.
Produser Panji Sepuh, Laksmi Pamuntjak, menjelaskan dalam bentuknya sekarang, karya ini berupaya menciptakan sebuah jalinan penanda yang menyiratkan ide kekuasaan pada momen ia mengenali dirinya sendiri. Masing-masing bagiannya dan secara keseluruhan diharapkan dapat menghadirkan kilatan kekuasaan, insubordinasi, ketakutan, kematian, pembusukan, dan kepedihan.
Inilah versi lain dari Panji Sepuh yang telah menempuh perjalanan cukup jauh.
NUNUY NURHAYATI