TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketika seseorang akan menjadi Raja Surakarta, banyak ritual rumit yang harus dilewati. Konon, sebelum prosesi penobatan digelar, dia harus menari sendirian di kamar pusaka. Jenis gerakan, cara berdiri, hingga ke mana arah telapak kaki harus sesuai dengan aturan. Sebuah tarian yang mengantar tugas seorang raja sebelum kelak menanggung beban yang lebih berat. Intinya, sebelum menjadi raja, seorang pangeran mesti menjalani lelaku supaya kelak bisa mengendalikan emosi dan perilaku.
Terilhami oleh tarian inilah, Sulistyo Tirtokusumo, Tony Prabowo, dan Goenawan Mohamad menggubah Panji Sepuh. Tari Solo yang sarat makna sakral ini pertama kali dipentaskan pada 1993 di berbagai tempat di Indonesia. Panji Sepuh juga telah melanglang buana ke berbagai negara, seperti Australia, Korea, dan Singapura. Sebagai sebuah pertunjukan, tarian ini selalu hadir dengan sesuatu yang baru setiap kali ia ditampilkan ulang.
Dan kini, setelah beradaptasi selama hampir 20 tahun, Panji Sepuh akan kembali dipentaskan di Teater Salihara, Jakarta, 12-13 Agustus mendatang. Kali ini Panji Sepuh akan diiringi musik kontemporer gubahan Tony Prabowo serta tembang gubahan Goenawan Mohamad, yang akan dinyanyikan oleh para penari dan pengrawit. Panji Sepuh hadir layaknya sebuah “karya baru”, baik dari rekonstruksi gerak, lirik tembang, maupun penyutradaraan.
Baca Juga:
Sutradara Yudi Ahmad Tajudin mendapat tanggung jawab menghadirkan “kebaruan” itu. Yudi, yang tak berlatar belakang tari alusan Jawa ini mendapat titah dari penulis naskah, Goenawan Mohamad, dan komposer Tony Prabowo. Dia menggantikan sang sutradara sekaligus koreografer asli tari ini, Sulistyo Tirtokusumo.
Sosok Yudi, yang lama berjibaku di dunia teater, menyusupkan idiom tubuh dalam karya teater tari ini. Penekanan akan cerita pun lahir dari subjudul yang diusungnya, yakni “Apa Gerangan Dosa Tubuh”. Sebuah ide yang dicomotnya dari baris lirik puisi dari naskah Goenawan Mohamad. Yudi membalut tari bedoyo Solo ini menjadi sebuah pergulatan personal.
Berangkat dari khazanah tari klasik Jawa, penggiat Teater Garasi ini menebalkan pemaknaan meditasi menuju perenungan personal sang calon raja. “Aku menyebutnya sebagai ‘dialog aku,” ujar Yudi. “Dialog Aku” yang dimaksudkannya adalah sebuah pertemuan arus antara dirinya sebagai seniman yang “bercinta” dan tradisi Jawa.
Karena itu, dalam “versi” Yudi, akan dihadirkan idiom air dan api di pentas. Air menjadi pemaknaan pembersihan dan penyucian diri. Adapun unsur api merupakan gairah yang membakar jiwa. “Dalam kekuasaan selalu hadir gairah yang bisa bersifat positif, bahkan negatif,” katanya. Setidaknya inilah yang menjadi salah satu kebaruan yang dijanjikan sang sutradara.
Secara hakiki, koreografi tari tidak mengalami perubahan berarti. “Secara keseluruhan hampir sama dengan pertunjukan versi 2006,” katanya. Komposisi musik pun tak mengalami perubahan. “Mungkin perubahan musiknya lebih pada nuansa spiritnya,” kata Tony Prabowo.
Pertunjukan yang dipersiapkan sejak April lalu ini pun mengganti peran sang calon raja sebelumnya, Sulistyo Tirtokusumo, dengan Landung Simatupang. “Ada perbedaan mencolok pada perubahan ini,” katanya. Ada tafsir berbeda antara Sulis, yang memang penari, dengan Landung, yang berpaku pada keaktoran. “Landung lebih menggarisbawahi meditasi, sementara Sulis seperti mengawang-awang,” katanya.
Dengan sembilan penari dan sembilan pengrawit, pentas tersebut bakal menyuguhkan gerak tubuh nonfiguratif yang intens. Tidak ada narasi linier, hanya montase imaji yang terus bergerak dan membawakan beragam emosi serta kerentanan manusia atas berbagai hal yang terjadi di sekelilingnya.
Namun tentu saja, memunculkan kebaruan bukan persoalan mudah bagi Yudi dalam menjalankan proses kreatifnya. “Awalnya saya sulit memahami ritme yang lambat, apalagi latar belakang saya bukan klasik Jawa,” kata Yudi. Namun diakuinya kesulitan itu menjadi celah untuk memunculkan ide yang lebih dinamis sebagai suatu repertoar seni yang tidak dijabarkan secara tertulis. Sejenak Yudi menyusup ke dalam karya itu, lalu keluar lagi, demi menciptakan sebuah reformasi guna menghasilkan sebuah “karya baru” Panji Sepuh.
AGUSLIA HIDAYAH