TEMPO Interaktif, Jakarta - Seseorang terus mengerang dan meringkuk kesakitan. Hanya kata "aduh" yang keluar dari mulutnya. Orang-orang di sekitarnya mengelilinginya. Ada perbincangan yang tak ada habisnya di antara orang-orang itu. Adapun si sakit terus saja merintih "aduh" dan tak menjawab satu pun orang yang menanyainya. Maka, si sakit tak kunjung ditolongnya.
Tema sederhana itu diperankan realis oleh Teater Mandiri dalam lakon Aduh di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat dan Sabtu lalu, 15-16 Juli 2011. Meski hanya satu babak yang dimainkan, naskah yang ditulis oleh sastrawan Putu Wijaya itu acap mengundang tawa ratusan penonton. Sebelumnya, Teater Mandiri mementaskan monolog Putu Wijaya berjudul Apakah Kita Sudah Merdeka dan Satan di Gedung Kesenian Jakarta pada awal Juli lalu dalam rangkaian 40 tahun teater itu.
Lakon Aduh untuk pertama kalinya dimainkan pada 1973 di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki. Jalan ceritanya sederhana manakala kelompok orang tertentu berhadapan dengan si sakit yang tengah sekarat. Mereka sibuk menghadapi kelompoknya sendiri. Orang-orang itu tak henti-hentinya meributkan si sakit ketimbang secepatnya menolong. Entah yang ragu akan keadaan si sakit, sehingga merasa waktu tersita sia-sia.
Ada konflik sederhana, tapi sangat menarik dan menggelitik di sini. Seolah-olah naskah menjadi satu media untuk menelanjangi masyarakat yang, secara sadar ataupun tidak, telah sakit. Mereka menyudutkan dan mencurigai dengan tak masuk akal individu minoritas. Tak jarang mereka menghakimi dengan membabi-buta dan tak berkesudahan. "Dulu (1973) naskah ini saya tulis hanya karena kepentingan kemanusiaan. Tapi, saat ini, saya rasa masih relevan. Orang-orang sering hanya banyak berbicara dibanding bertindak," ujar Putu Wijaya.
Menurut penyair dan pengamat teater Afrizal Malna, dalam bukunya, Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata, naskah Aduh menjelaskan situasi yang tak sekadarnya. Maksimalisasi tubuh dan peran kemanusiaan dipompakan sedemikian rupa untuk personifikasi yang tidak menemukan tokoh dalam dirinya sendiri. Prosedur personifikasi telah diringkus pada tingkat identifikasi diri melalui komunikasi yang hanya disampaikan lewat kata "aduh". Dan ini ditangkap oleh Afrizal sebagai rusaknya lingkungan komunikasi dalam masyarakat.
Citra Teater Mandiri sebagai teater teror masih melekat erat. Setiap pertunjukan yang digarapnya tak hanya selesai untuk sekadar ditonton dan dinikmati. Realitas yang dibangun dalam pertunjukan teater tak semata-mata berhenti di atas panggung.
Tak jarang naskah-naskah yang ditulis Putu Wijaya menjadi teror bagi penontonnya. Kata-kata menjadi kekuatan untuk setiap efek teror yang ditebarkan. Menurut Afrizal, pilihan vokal-vokal keras dan tegas yang kerap digunakan oleh Teater Mandiri, penempatan manusia yang bergerombol, bahkan blocking yang terkadang antifokus sering mampu meminimalkan verbalisme kata.
Ciri seperti itu muncul juga dalam naskah Aduh. Si sakit sebagai individu minoritas dihadapkan pada gerombolan manusia yang berdebat tak berkesudahan untuk menolongnya. Satu per satu pemain melontarkan pendapat dan gagasannya, kemudian yang lain saling menyahut.
Dialog yang bersahutan itu menjadi semacam siklus. Ada kemiripan dialog tapi dengan sahutan yang berbeda. Jika pemain salah menyahut, mereka akan terjebak dalam dialog yang berulang-ulang. "Harus diucapkan dengan akurat betul," kata Putu.
Dalam garapan Aduh sekarang ini, Putu menciptakan semacam medley pertunjukan: monolog, teater realis, dan bercerita dengan gambar. Ia membawakan dua monolognya berjudul Sejarah dan Kalau Boleh Memilih. Dalam monolog tersebut, Putu menyisipkan konsep teater rakyat yang melibatkan interaksi penonton.
Lalu di akhir pertunjukan, mereka memperlihatkan gerak tubuh di balik layar putih dengan permainan tata cahaya dan diiringi lagu Jangan Menangis Indonesia ciptaan Harry Rusli. Seperti bercerita dalam medium gambar.
Dalam tiap naskahnya, Putu selalu membingkai peristiwa kecil dari tema sederhana dan memanjangkannya dengan terperinci. Naskah-naskah itu kemudian menjadi frame yang besar dalam sebuah pertunjukan. Selamat ulang tahun ke-40, Teater Mandiri!
ISMI WAHID