TEMPO Interaktif, Jakarta - “Ah, ada segelas kopi. Apa susahnya menggambar segelas kopi. Aku pun tidak bisa melukis batu ini, apa susahnya? Padahal, aku putri seorang pelukis. Apa bedanya dengan penyair? Toh, kita sudah berada dalam bingkai ini.”
Akidah Gauzillah asal Jakarta berceloteh sendiri. Ia berbicara kepada udara dan ruang di kawasan Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, yang terbuka. Sambil menggenggam buku gambar dan sebatang pensil kayu, Akidah 'bergerilya' mencari obyek yang hendak digambarnya.
Pertunjukan sederhana Akidah itu merupakan bagian dari rangkaian “Festival Monolog 4” yang digelar Federasi Teater Indonesia sepanjang 11-15 Juli lalu. Festival itu memfokuskan pada penyatuan seorang aktor dengan konsep monolognya yang diapresiasikan di ruang publik.
Akidah, penulis cerita pendek, mencoba mengurai lukisan dengan gaya bersyair. Ia seorang penyair yang ingin menggapai kepiawaian sang ayah yang pelukis. Perempuan ini pun menunjuk Taman Suropati sebagai bingkai lukisannya. Dengan alunan cello yang lirih, ia kembali berusaha menggurat sepeda. “Sepeda kelihatannya mudah. Di sini roda, lalu ini tempat duduknya. Lho, kok jadi abstrak lagi? Tapi, taman ini realis, aku juga realis,” tuturnya.
Sementara itu, di tepian Sungai Ciliwung, Jakarta Timur, Anwari--peserta dari Surabaya, Jawa Timur--tampil cukup menarik. Dalam monolognya siang itu, Anwari datang dengan sebuah konsep tentang kekerasan terhadap anak. Aktivis seni yang tergabung dalam Teater Sendratasik Universitas Negeri Surabaya itu tertarik pada hak anak dari orang tuanya. “Sejak kecil orang tua banyak yang memaksakan profesi pada anak,” ujarnya.
Dalam monolognya, Anwari menampilkan dirinya sebagai pribadi yang setengah gila. Bapaknya bajingan dan sang ibu mati mengenaskan. Dalam lakon itu, Anwari menggenggam sebentuk guci kecil sebagai perumpamaan tempat abu sang ibu bersemayam. Dari segi penjiwaan, gerak tubuh, dan mimik, Anwari memang terlihat lebih total. Menurut Anwari, konsep pertunjukan monolognya itu berangkat dari pengalaman pribadinya. “Saya dibesarkan oleh keluarga yang ketat akan tekanan,” katanya.
Selain Taman Suropati dan Sungai Ciliwung, para peserta menggelar pertunjukan di berbagai ruang publik di Jakarta. Big Dedy, misalnya, bermonolog di halte Ratu Plaza, Jakarta Selatan, yang mendapat sambutan baik; Olive di Blok M, Jakarta Selatan; Triono Umar memilih di Universitas Bung Karno, Jakarta Pusat; dan M. Ikhsan beraksi di Kwitang, Jakarta Pusat.
Setiap ruang publik yang dijadikan tempat bermonolog merupakan pilihan bebas dari para aktor. Seperti Akidah, yang memilih Taman Suropati, dengan harapan taman itu bisa menjadi bingkai lukisan pada konsep monolognya. Begitu juga Anwari yang menjatuhkan pilihan pada Sungai Ciliwung. Ia berusaha menyuguhkan konsep lakonnya sebagai anak yang ditemukan di bantaran Sungai Ciliwung. Anwari percaya setiap orang akan kembali lagi ke asal mula tempat ia ditemukan.
Tantangan ruang publik menjadi tolok ukur penilaian tersendiri bagi salah satu juri festival, Afrizal Malna. Bersama dua juri lainnya, yakni Budi Ros (aktor dan sutradara) serta Yusef Muldiyana (aktor), pengamat teater ini mencari spontanitas dan kecenderungan terbukanya dialog oleh para peserta.
Afrizal menyatakan bahwa dari festival ini, ia juga bisa mengukur pemahaman para peserta akan pertunjukan monolog. “Masih banyak peserta yang memahami monolog sebagai sebuah drama,” katanya. “Padahal, seorang aktor monolog mestinya hadir dengan lebih memberi ruang kepada dirinya, melebihi sekadar dramanya.”
AGUSLIA HIDAYAH