TEMPO Interaktif, Jakarta- Lihatlah ketika barisan-barisan sajak tak hanya berhenti sebatas bahasa ucap. Di tangan budayawan Radhar Panca Dahana, puisi-puisi itu tak sekadar dilafalkan. Ia ditafsirkan dalam gerak tubuh dan garapan musik.
Bersama Teater Kosong, Radhar mempersembahkan teatrikalisasi puisi bertajuk Lalu Aku di Gedung Kesenian Jakarta pada Senin malam lalu, 11 Juli 2-11. Kumpulan puisi karya Radhar itu diterjemahkan oleh koreografer Jecko Siompo dengan pencipta musik Jalu G. Pratidina dan penata musik Yaser Arafat.
Kali ini Radhar membuat konsep puisi yang dipenuhi kekuatan visual, karakter, serta perpaduan kor dan koreografi yang bertautan satu sama lain. Radhar, sutradara Teater Kosong, menggandeng beberapa pekerja seni untuk membacakan karyanya. Mereka adalah Meritz Hindra, Olivia Zalianty, Yockie Suryoprayogo, juga penyanyi Glenn Fredly dan Nugie.
Radhar membebaskan karyanya ditafsirkan dalam wujud apa pun. "Saya membebaskan mereka mengekspresikan potensi dalam karya ini," ujarnya. Glenn, misalnya. Kecakapan olah suara Glenn digunakannya untuk melafal tiap kata terakhir yang diucapkan Radhar dalam karya Batu dan Seekor Ikan dengan nada yang ia improvisasi sendiri. Atau Nugie, yang membaca karya dengan ritme laiknya rapper.
Koreografi Jecko Siompo tak kalah menarik. Ia menerjemahkan beberapa puisi dalam gerak tubuh dengan begitu gamblang. Lihatlah ketika Olivia Zalianty membacakan karya berjudul Sisa Sore di Daster Misna. Jecko menerjemahkan perempuan 36 tahun yang terkungkung sepi yang dibuatnya sendiri. Hingga visualisasi keadaan di sekeliling perempuan bernama Misna itu, termasuk kampungnya, yang habis terbakar api. Pemain Teater Kosong membuat barisan rapat dengan kain merah yang dilambai-lambaikan hingga menyerupai lidah api.
Penampilan Meritz Hindra, aktor gaek yang pernah mendirikan Teater Alam di Yogyakarta, dalam pertunjukan ini sangat mengesankan. Ia terlihat sangat mengimbangi peran Radhar, yang beberapa kali berduet dengannya.
Boleh dibilang Radhar berhasil menyutradarai konsep pemanggungan semacam ini. Koreografi, tata musik, serta peran keaktoran saat melafal puisi tak menimbulkan friksi satu sama lain, meski beberapa saat suara mikrofon hilang dan timbul.
Pertunjukan ini mempersembahkan 18 puisi karya Radhar yang terkumpul dalam buku Lalu Aku. Ia membawa strategi pemanggungan yang berbeda dalam pembacaan karyanya ini. Pembacaan dramatik, begitulah Radhar menyebut. Sebuah model pembacaan yang memanfaatkan kekuatan artistik seni teater.
Menurut Radhar, dengan bentuk pemanggungan seperti ini puisi bisa tampil dengan simbolisasi yang lebih kaya, indah, serta menghibur. "Siapa yang masih mau mendengar puisi kata per kata? Maka saya sajikan dengan konsep yang begini (teatrikal puisi)," katanya. “Pemahaman pada kata-kata akan menjadi lebih kuat, sehingga makna yang didapatkan bisa lebih dalam.”
ISMI WAHID