TEMPO Interaktif, Denpasar - Dua penyair perempuan era 80-an, Dhenok Kristianti dan Nana Ernawati, menerbitkan buku kumpulan puisi bertajuk 2 di Batas Cakrawala. Buku tersebut menjadi pembuktian bahwa daya kreatif mereka masih menyala-nyala.
Penyair Bali Wayan “Jengki” Sunarta menyatakan, kekuatan sajak-sajak keduanya adalah pada kandungan makna di dalamnya. “Mereka berhasil menjaga agar keindahan diksi sebuah puisi jangan sampai menenggelamkan arti yang tengah dibangun,” ujarnya di Denpasar, Senin 27 Juni 2011.
Dhenok dan Nana sama-sama tumbuh dalam pergaulan kreatif di Yogyakarta. Karya-karya mereka tersebar dalam berbagai rubrik sastra di media setempat ataupun Jakarta. Mereka kemudian menempuh jalan hidup masing-masing. Dhenok menjadi pengajar di Jakarta dan kini Denpasar, sedangkan Nana aktif dalam berbagai bidang seraya tetap menulis.
Dhenok lahir di Yogyakarta, 25 Januari 1961. Pada tahun 80-an dikenal sebagai salah satu penyair wanita yang menonjol. Karya cerpen dan puisinya dimuat di Bali Post, Sinar Harapan, Nova, Kartini, Berita Nasional, Minggu Pagi, Basis, antologi puisi Penyair 3 Generasi, Menjaring Kaki Langit, Tugu, dan Tonggak 4. Cerpen-cerpennya kerap memperoleh penghargaan dalam berbagai lomba.
Nana Ernawati lahir di Yogyakarta, 28 Oktober 1961. Karya-karyanya dimuat di berbagai media antara lain Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, dan Sinar Harapan, serta diikutsertakan dalam antologi bersama Penyair 3 Generasi, Tugu, dan Tonggak 4.
Di sela-sela diskusi, kedua penyair yang kini berusia kurang lebih separuh abad tersebut saling membacakan puisinya satu sama lain. Sandyakala Sastra kali ini juga menampilkan berbagai seniman yang mencoba mengapresiasi sajak Dhenok dan Nana lewat berbagai medium. Ada Putri Suastini yang meresitasi sajak Surat kepada Ibu karya Nana Ernawati dan Bali dalam Etalase karya Dhenok Kristianti.
Pada acara itu, Teater Angin, SMAN 1 Denpasar, membawakan musikalisasi puisi Sajak Kembang Melati dan Di Batas Cakrawala. Adapun Kelompok Studi Teater Bumi menampilkan satu nomor pertunjukan berjudul Indonesia Luka yang bukan saja merespons karya Dhenok dan Nana, melainkan juga mengajak kita untuk merenungi lebih jauh tentang ke-Indonesia-an.
ROFIQI HASAN