TEMPO Interaktif, Denpasar - Festival Film Dokumenter Bali 2011 masih minim karya berkualitas. Sebagian besar peserta terjebak pada upaya melakukan dokumentasi dan melupakan aspek sinematografi.
Kesimpulan itu mencuat dalam penilaian yang dilakukan oleh Dewan Juri yang terdiri dari Dr. Lawrence Blair (sutradara film dokumenter), Slamet Rahardjo Djarot (aktor), Rio Helmi (fotografer), Prof. Dr. I Wayan Dibia (budayawan Bali), dan Hadiartomo (dosen Institut Kesenian Jakarta). "Alur ceritanya tidak terbangun. Kita kesulitan menangkap pesan di balik film itu," kata Rio Helmi dalam paparannya kepada wartawan pada Sabtu, 25 Juni 2011, di Sanur, Denpasar, Bali.
Para peserta cenderung memakai pola pemaparan yang terlalu banyak bercerita. Padahal, yang mestinya dilakukan adalah menunjukkan gambar yang tepat sesuai dengan alur cerita. "Mereka seharusnya juga menangkap energi atau ruh dari kejadian yang direkam kamera, bukan sekadar yang tampak," kata Slamet Rahardjo. Akibatnya film itu akan kehilangan daya sentuhnya. Apalagi bila kemudian memunculkan kutipan dari pejabat atau ahli yang kurang relevan.
Jumlah karya peserta festival mencapai 34 film. Sebagian besar peserta berasal dari Bali, tapi ada juga peserta dari Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Karya pemenang akan diumumkan pada 10 Juli mendatang, bersamaan dengan Penutupan Pesta Kesenian Bali ke-33.
Menurut Slamet, kondisi itu menunjukkan bahwa film dokumenter di Indonesia memang belum ditekuni secara serius. Padahal, Indonesia sangat kaya dengan keunikan budaya yang bisa menjadi bahan dasar bagi jenis film ini. Dia berharap, ajang seperti festival ini tetap akan berlanjut untuk menempa sinesa-sineas muda. "Saya selalu siap diundang untuk mengajar mereka," ujarnya.
Sementara itu, Wayan Dibia menilai para pembuat film, khususnya yang dari Bali, seperti telah cukup puas dengan mengambil gambar dan menjadikannya sebagai sebuah film. Mereka seperti membuatnya untuk disajikan kepada orang Bali, yang akan segera paham dengan rangkaian gambar dalam film itu. Padahal, sebagai sebuah film, mestinya tetap dibuat dengan mendasarkan diri pada alur cerita yang tepat yang juga bisa dinikmati oleh orang luar.
ROFIQI HASAN