TEMPO Interaktif, Jakarta - Yang tersisa hanyalah sesal teramat sangat. Begitulah Sinah. Tubuh Sinah menggigil hebat. Matanya kosong, pikirannya berkecamuk tak keruan. Darah segar berceceran di lantai dan melumuri tangan, pipi, dan bajunya. Sebuah kapak tergenggam erat di tangannya.
Di dalam kamar gelap dan sempit, Sinah (Intan Kumalasari) kesetanan mengayunkan kapak tumpul pada laki-laki asing yang malam itu menginap di rumahnya. Dibantu oleh ibunya (Wheni P. Putri), lelaki asing itu meraung sambil berteriak memanggil 'ibu'. Sinah kalap. Dan pemuda itu mati.
Ketegangan serta-merta meruap. Penonton seperti tertular efek ilusi realis yang diperankan oleh Teater Saturday Acting Club (SAC) di Teater Salihara, Pasar Minggu, pada Jumat dan Sabtu, (17-18 Juni 2011) pekan lalu. Dalam forum Teater Realis Salihara ini, mereka memainkan lakon berjudul Lithuania.
Rupert Brooke, penulis naskah Lithuania dari Inggris, membeberkan dengan detail kondisi kemiskinan yang akut. Dalam naskahnya, Brooke mengkonfrontasi kegemilangan kota dan mentalitas manusia yang rapuh dalam lingkaran kemiskinan itu.
Dan Rukman Rosadi, sutradara, begitu jeli mengadaptasi naskah ini dalam kultur masyarakat kita. "Fenomena-fenomena ini harus disampaikan. Tanpa harus menggurui," ujar Rossa, panggilan akrab Rukman, seusai gladi resik. Naskah Brooke yang ditulis pada abad 20 ini masih relevan dengan keadaan saat ini. Tampaknya inilah yang menjadi kunci bagi Rossa untuk mementaskannya.
Kemiskinan yang akut menjadi penyebab kriminalitas keji. Pemuda asing dengan pakaian rapi dan dandanan mentereng tiba-tiba saja tersesat di sebuah desa kecil di tengah hutan. Malam itu, ia menginap di rumah sebuah keluarga kecil. Keramahan yang biasa kita temui dalam kultur budaya desa menyambutnya. Rossa, pemeran pemuda asing itu sungguh lihai melakonkan dialog-dialog yang bisa saja sambung-menyambung meski sebenarnya si pemuda itu sudah kehilangan akal menjawab pertanyaan kepala keluarga akan asal usulnya.
Tatkala si pemuda beristirahat di kamar mereka, pergumulan dan perdebatan hebat terjadi antara anggota keluarga itu. Si Bapak (Jamal Abdul Naser) sampai berkesimpulan bahwa pemuda asing itu adalah penjahat yang tersesat di rumahnya. Maka si Ibu serta-merta mempengaruhi suaminya untuk membunuh pemuda itu dengan harapan bisa menguasai seluruh harta yang dimilikinya. Keadaan yang terus-menerus miskin membuat keluarga kecil itu bosan.
Sinah, anak perempuan pincang itu pun menyetujui usul ibunya untuk segera melenyapkan pemuda asing itu. Namun, si Bapak tak bernyali. Ia berdalih harus meminum tuak dahulu untuk membangkitkan keberaniannya. Maka pergilah dia meninggalkan istri dan anak perempuannya yang sudah tak sabaran.
Dalam ketiadaan kepala keluarga itu, ketegangan mulai dibangun satu per satu. Mereka berdua segera berdebat untuk menunggu atau bertindak sendiri tanpa si Bapak. Di tengah ketegangan itu, masuklah Siman (Nurdyanto Khan), pemuda desa pengagum Sinah. Ya, kemunculannya membuat suasana sedikit cair. Gaya Siman menggoda Sinah terlihat naif. Meski Sinah buru-buru menangkis dan segera mengusirnya dengan halus, tetapi memaksa.
Dan pada akhirnya, ketegangan yang dibangun mencapai puncaknya. Dua perempuan itu memutuskan bertindak sendiri. Sinah bulat dan nekat. Setan alas sudah merasuk dalam dirinya.
Menggarap lakon realis, menurut Rossa, tak bisa begitu saja bermain mengandalkan intuisi dan imajinasi. "Tidak sulit, tetapi rumit," ujarnya. Apalagi naskah ini terpisah antara ruang waktu dan jarak yang sangat jauh. Dan inilah tantangan bagi SAC untuk melakonkannya.
Peran Wheni sangat mengagumkan ketika tangisnya tak lagi bersuara. Ia terlihat menyesali ketika mengetahui pemuda itu adalah anak kandungnya. Begitu juga dengan Intan yang menggigil hebat begitu mengetahui pemuda itu adalah kakaknya.
Tukang warung yang diperankan Romanshalah yang menjadi kunci. Ia membawa si Bapak yang sudah kepayahan mabuk pulang ke rumah. Bersukacita ia mengabarkan bahwa pemuda asing yang menginap di rumah mereka malam itu tak lain adalah anak kandungnya sendiri. Pecahlah ketegangan itu menjadi kesunyian yang teramat miris, tanpa kata-kata. Apalagi bebunyian cello yang dimainkan oleh Asep Hidayat membumbui adegan itu.
Oleh Rossa, parameter logika sangat dipegang erat untuk mendekatkan hasil panggung seperti ilusi realis. Observasi pun dilakukannya untuk mencari alur cerita yang rasional, seperti desa-desa di wilayah Indramayu, Wonosari, Malang, serta pinggiran Kota Yogyakarta. Pembunuhan dalam lakon ini sangat keji. Betapa keluarga itu sudah tak punya kendali. "Ini mungkin saja terjadi di tengah kemiskinan akut yang sudah membelitnya," ujar Rossa.
Dan naskah ini, menurut Rossa, masih relevan dengan keadaan di sekitar kita. Barangkali masyarakat kita sedang mengalami sakit sebegitu parahnya.
ISMI WAHID