TEMPO Interaktif, Jakarta - Ada pekerja kantoran, ada anak gaul . Ada yang sedang main golf, ada pula wanita yang sibuk dengan telepon selularnya. Namun, di sisi lain ada pula pemulung dan penjual koran. Sebuah ironi dalam kehidupan urban. Itulah yang digambarkan dalam pergelaran integrated performance bertajuk Escapology to Escalation di Hotel Grand Kemang Jakarta, Jumat malam, 17 Juni 2011.
Pertunjukan itu menjadi penutup Indonesian Contemporary Art&Design (ICAD) 2011 yang berlangsung selama enam pekan sejak 6 Mei lalu. "Dalam pementasan ini kami berkolaborasi dengan fashion designer juga seniman lainnya yang menceritakan escapology dan kesibukan sehari-hari kami," kata Art Director Pementasan, Itjuk.
Escapology to Escalation menyuguhkan alur cerita urban dengan suasana teatrikal dan dramatis hasil efek pencahayaan ditampilkan Itjuk. Cerita mengalir dalam tiga babak: aktivitas keseharian kaum urban , kegelisahan kaum urban saat mereka mulai jenuh dengan rutinitasnya yang monoton, serta saat-saat kaum urban mulai mencari kebebasan berkarya dan berekspresi.
Pementasan ini menggabungkan pantomim, tarian, peragaan busana kertas, video mapping dan iringan musik mini orkestra. Sutradara pertunjukan Arya Pradana menambahkan unsur video mapping yang ditampilkan melalui busana yang melekat di tubuh sang model. Selama 30 menit, pertunjukan itu didominasi oleh permainan pencahayaan. Lampu menyala lalu mati, begitu seterusnya. "Saat lampu mati itulah mapping di tubuh model mulai. Ini agar apa yang akan disampaikan ke penonton lebih keluar," katanya.
Kehadiran pendongeng dengan gaya khas Aceh, PM Toh, yang menceritakan keseharian kehidupan kaum urban lewat narasi yang dibawakan juga memberikan warna berbeda dalam pementasan malam itu. Sebuah perpaduan antara unsur modern dan unsur tradisional. Unsur semakin kental di babak ketiga, ketika sebagian penari yang berganti busana daerah Minang dan Aceh menarikan tarian Aceh. "Kami juga ingin mengangkat budaya lokal juga, dan kami pilih Aceh karena gerakan dan warna yang lebih variatif dan ekspresif," kata Itjuk.
Meski terlihat agak semrawut lantaran para penari, pantomim dan pemusik hampir bertabrakan di panggung, dengan persiapan selama dua minggu, pementasan terbilang cukup lancar. Terutama permainan lighting yang cukup dramatik. Teknologi video mapping mampu memberikan efek warna dan motif yang menakjubkan. Belum lagi kehadiran hiasan burung-burung yang bergantungan di panggung yang seakan menggambarkan kebebasan.
Escapology to Escalation membebaskan diri dari segala keterbelengguan untuk terus melangkah berkarya dan menjadi lebih baik. “... Manusia modern hidup dalam kebebasan padahal mereka dipenjara. Mereka hidup dalam komunitas padahal mereka hidup individualistis. Mari kita berkarya, mari kita bekerja membangun kehidupan yang lebih baik...”
SURYANI IKA SARI