TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Bangunan di kawasan Malioboro masih banyak yang kuno atau masuk dalam warisan budaya. Sayangnya, dari 60 bangunan warisan budaya itu hanya 10 saja yang masih kelihatan fasad atau bentuk muka aslinya. Yang lainnya tertutup oleh baliho iklan atau nama toko.
"Malioboro, selain sebagai pusat ekonomi, juga menyimpan sisi budaya termasuk peninggalan bangunan kunonya. Saat ini, banyak yang fasadnya tertutup baliho," kata Wisdiyastuti, Kepala Seksi Pembinaan dan Pelestarian Nilai-nilai Budaya, Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Yogyakarta, di sela-sela diskusi Heritage Kawasan Malioboro di Library Center, Selasa, 14 Juni 2011.
Bangunan-bangunan kuno di kawasan Malioboro itu merupakan peninggalan zaman Belanda dan berciri khas Eropa dan Cina. Jika fasad aslinya terlihat dengan membuka baliho atau papan nama toko maka akan terlihat wujud aslinya yang lebih indah.
Selain itu, tidak sedikit bangunan kuno yang berada di Jalan Ahmad Yani yang dikenal dengan Jalan Malioboro itu yang dirobohkan dan dibangun pusat perbelanjaan baru. Seperti bangunan Mal Ramayana yang sebelumnya adalah bangunan kuno berciri khas Cina.
Bangunan kuno dari bentangan rel kereta api hingga Pasar Beringhajo di Jalan Malioboro yang masih terlihat fasad aslinya adalah bangunan paling utara yang difungsikan sebagai gudang, gedung perpustakaan, apotek Kimia Farma, dan lain-ain. Namun sayangnya, gedung kuno yang menjadi pertokoan justru tertutup rapat oleh baliho dan papan nama.
"Kami mengundang para pemilik bangunan untuk sosialisasi kepada mereka tentang pentingnya memperlihatkan fasad gedung dengan membuka baliho," kata dia.
Dengan membuka "topeng" gedung kuno itu, menurut Widiyastuti, kawasan Malioboro justru mempunyai ciri khas tersendiri. Tidak perlu adanya baliho besar sudah membuat konsumen teringat dengan toko di gedung itu.
Diakuinya, memang baru saat ini ada upaya membuka "topeng" Malioboro dengan melakukan sosialisasi kepada pemilik gedung supaya membuka baliho itu. Dengan dibukanya "topeng" itu, maka ada sisi budaya yang berada di hiruk-pikuk ekonomi dan pariwisata Malioboro.
"Untuk bangunan yang sudah masuk heritage diberi insentif pajak bumi dan bangunan," kata dia.
Menurutnya, kawasan Malioboro sebagai kawasan ekonomi dan wisata belanja menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Kawasan Malioboro dikenal juga sebagai kawasan bersejarah atau seringkali disebut kawasan budaya. Kawasan ini menjadi saksi dan bukti sejarah, baik di masa Mataram Islam maupun Kolonial.
Arsitektur bangunan di sepanjang Malioboro sangat menarik dan khas, yaitu perpaduan Cina, Jawa, maupun Indis. Saat ini, arsitektur bangunan di sepanjang Jalan Malioboro lebih banyak ditutupi oleh papan nama usaha dari para pemilik toko sehingga terkesan sangat ‘kumuh’.
Kehadiran wisatawan yang umumnya memadati kawasan Malioboro hanya disuguhi pada aspek wisata belanja, dan belum mengajak wisatawan untuk mengenal Malioboro maupun Yogyakarta secara lebih mendalam melalui perspektif sejarah dan budayanya.
Menurut Sumardiyanto, Dosen Arsitektur Universitas Atmajaya Yogyakarta di Eropa, bangunan pusat perbelanjaan menyesuaikan dengan bangunan kuno yang ada di dekatnya. Baliho toko maupun iklan tidak besar, tetapi hanya tulisan nama toko.
"Justru bangunan baru bisa menyesuaikan yang kuno, baik dari ketinggian maupun bentuknya meskipun tidak sama," kata dia.
MUH SYAIFULLAH