TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Kamera siap! Action! Seorang bocah lelaki berlari meninggalkan arena permainan dan teman sebayanya. Dia menghampiri seorang wanita paruh baya di kebun sekolahnya. “Bu De... Bu De...,” panggilnya. Tangannya menepuk lengan wanita itu sambil menunjuk sepasang muda-mudi yang baru menginjakkan kaki di halaman sekolah.
Kaget dan langsung terperangah, perempuan berkebaya merah dan bersarung batik itu tergopoh menghampiri tamunya. Dia lalu merangkul dan mencium pipi pemuda yang baru datang itu. Tatapan matanya tampak ragu ketika memandang perempuan di samping sang pemuda. “Ini datang dari surga,” kata pemuda itu menjelaskan identitas temannya dan mereka pun tertawa bersama.
Adegan kecil itu adalah sepotong cerita dalam film Cahaya di Atas Cahaya saat pengambilan gambarnya di Sanggar Anak Alam, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Rabu 8 Juni 2011 siang. Dua muda-mudi itu adalah Arya dan Rayya, pemain utama yang diperankan oleh Tio Pakusadewo dan Titi Sjuman. Adapun Bu De, wanita paruh baya itu, diperankan oleh Christine Hakim, aktris senior Indonesia. “Ini adalah kisah di mana Arya bertemu dengan Bu De-nya di Jogja,” kata Ade Kusumaningrum, kontak publisitas pembuatan film tersebut.
Cahaya di Atas Cahaya yang skenarionya ditulis budayawan Emha Ainun Najib hanyalah judul sementara. Disutradarai oleh Viva Westi, film ini diproduksi oleh PT Menara Alisya Mulitimedia dan PT Lantip Binathoro Panuluh (Pic[k]Lock Production) yang digawangi Sabrang Mowo Damar Panuluh dan Dewi Umaya Rachman. Sebelumnya, mereka pernah memproduksi film Minggu Pagi di Victoria Park. Cahaya di Atas Cahaya berkisah tentang Rayya, seorang artis terkenal dan berbakat yang sedang putus asa. Keinginannya menyusun buku biografi pribadi telah membawanya berkenalan dengan seorang fotografer bernama Arya.
Arya sebenarnya tipikal fotografer kuno. Dia enggan menggunakan kamera digital dan tetap bertahan dengan menggunakan film seluloid. Bagi dia, memotret sama dengan prinsip hidupnya. Bukan hal mudah menghapus kesalahan. Dengan kamera digital, Arya terlalu mudah menghapus sebuah kesalahan. Jadi, berhati-hatilah dalam memotret dan menjalani hidup. Sesuatu yang sudah terjadi tidak bisa dengan mudah diubah.
Ade mengatakan, film ber-genre drama road movie itu dijadwalkan memakan durasi penayangan hingga 100 menit. Penggarapannya dilakukan di Jakarta, Indramayu, Cirebon, Yogyakarta, Kawah Ijen, hingga Bali. Rencananya, film yang disebut menghabiskan dana di atas Rp 3 miliar ini akan dirilis pada Februari 2012 mendatang.
Proses pengambilan gambar dijadwalkan selama satu bulan. “Dimulai di Jakarta pada 25 Mei lalu,” kata Ade. Di Yogyakarta sendiri, pengambilan film ini berlangsung selama empat hari, mulai 6 hingga 9 Juni 2011.
Mengenai skenario film yang ditulisnya, Emha Ainun Najib hanya menjawab singkat. “Tak banyak yang berbeda dari skenario teater dan film. Seperti lotek dan gado-gado,” katanya.
ANANG ZAKARIA