TEMPO Interaktif, Tegal - Dalam membawakan lakon Slingkuh, Slamet Gundono tak hanya mengambarkan dinamika perselingkuhan dalam alur cerita yang dipentaskan. Ia menampilkan perselingkuhan seni, termasuk ketidaksetiannya pada wayang suket yang selama ini menjadi identitasnya.
Penampilanya dalam lakon Slingkuh yang dipentaskan di Gedung Kesenian Kota Tegal, Ahad, 5 Juni 2011 malam kemarin, banyak menanggalkan peran wayang suket untuk mengisahkan alur cerita. Dalang wayang suket ini justru ditampilkan kolaborasi lagu dan koreografi yang melibatkan banyak pemain. “Ini benar-benar produk perselingkuhan dalam hal seni,” ujar Slamet seusai pementasan
Lelaki tambun yang khas dengan banyolan dalam pementasan ini sengaja mengambil tema Slingkuh yang diambil dari kumpulan puisi Slamet Widodo. Tercatat 14 lagu berbahasa Indonesia yang sebenarnya kumpulan puisi Widodo ditampilkan lewat iringan gamelan Jawa nan khas. “Ini tak mudah lho, memerlukan vitalitas tinggi untuk mencocokkan antara kalimat puisi menjadi sebuah lagu khas iringan gamelan,” ujar Slamet menjelaskan.
Hasilnya adalah sebuah tontonan menarik. Lihatlah bagaimana serasinya nyanyian lagu sinden dengan gamelan ketika mengiringi dalang bercerita. Gerakan dua sejoli dalam tarian bertema perselingkuhan juga tampak harmonis. Penonton pun tak hanya terpukau oleh cerita Slamet yang diakui hanya membedah kumpulan puisi Widodo, namun juga penampilan dua penari yang ditampilkan sebagai “wayang”.
“Ini campur aduk antara wayang orang dan puisi. Cuma cerita, yang aku sendiri tak pernah selingkuh,” kelakar Slamet saat mengawali pementasan. Eksplorasi tema selingkuh yang sebenarnya merupakan tema biasa dalam kehidupan masyarakat urban. Slamet sendiri banyak menyinggung dinamika perselingkuhan dalam kehidupan kekinian. Tak jarang ia mengambarkan dunia glamor, seperti hotel, mal, salon, juragan, sopir, dan istri dalam alur cerita yang dibawakannya.
Slamet yang dibantu seorang sinden juga mendobrak paradigma perselingkuhan yang banyak mendeskreditkan kaum perempuan. Salah satunya fenomena eksploitasi berita infotaiment terhadap artis perempuan yang lebih banyak disorot atas perilaku selingkuh yang terkuak. “Namun, ketika lelaki yang selingkuh seakan dunia ini suatu hal yang biasa,” ujar sang sinden dalam bentuk nyanyian.
Meski demikian, Slamet tetap menyisipkan identitasnya sebagai dalang wayang suket dengan tampilan cerita pembuka yang menganalogikan kisah betara guru sebagai presiden para dewa yang mendapati Dewi Uma, istrinya, berselingkuh. Pada akhir cerita, Slamet mengurai perselingkuhan sebagai fakta bahwa cinta tak selamanya bulat dan sering tercecer di tikungan waktu.
Slamet Widodo, sang pencipta kumpulan puisi menilai pementasan Slamet Gundono yang mengangkat sejumlah cerita dari kumpulan puisi karyanya ini membuktikan keberadaan wayang suket sebagai hasil budaya yang tetap hidup dengan modernisasi. Slingkuh yang menggabungkan puisi yang diceritakan dalang dan karya koreografi juga merupakan potret ketidakjujuran yang selama ini ditutup-tutupi.
“Selama ini jenis karya seni berdiri sendiri-sendiri, namun lebih asyik ketika digabung melalui perselingkuhan dan menghasilkan pementasan seperti mala mini,” ujar Widodo.
EDI FAISOL