TEMPO Interaktif, Jakarta - Jangan remehkan sebilah papan dan kayu. Dari benda itu, Damien Caufepe, Oliver Leger, dan Cyrille Tille mampu menciptakan dunia tanpa pondasi. Mereka mengubah bentuk bangunan sesuka hati. Merancang, menggeser, dan menumpuknya, menjadi sebuah karya seni yang menyenangkan.
Berbalut kostum sederhana, ketiganya justru lebih terlihat seperti tukang kayu. Ya, mungkin itulah tujuannya untuk mengecoh seberapa andal kemampuan atraksi mereka. Tak ayal, mereka mampu berjalan tanpa bantuan di sebilah papan yang miring. Selanjutnya, membentuk pondasi segitiga yang dirangkai hanya dengan menempelkan tiap sudut papan dan kayu tanpa perlu menyimpul.
Baca Juga:
Caufepe, Leger, dan Tille, mempersembahkan sirkus kotemporer bertajuk Mobile, di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa malam lalu. Ketiga seniman asal Prancis ini merupakan bagian dari kelompok sirkus Chabats d’entrar, yang didirikan di Limousin, Prancis, sejak 1997 silam. Mereka datang ke Indonesia atas undangan Pusat Kebudayaan Prancis di Indonesia.
Untuk kesekian kalinya, Pusat Kebudayaan Prancis memboyong kelompok sirkus dari 'kampung'nya yang memang menjamur. Negara ini memang terkenal secara internasional sebagai pusat pembaruan seni sirkus. Banyak seniman yang mencoba keluar dari pakem sirkus yang njelimet dan heboh.
Permainan kayu seperti yang ditunjukkan Caufepe, Leger, dan Tille memang sering dijumpai dalam rangkaian sirkus. Namun, lewat Mobile, mereka mencoba merancangnya menjadi sebuah pertunjukan sederhana dengan iringan music rancak yang gembira. Tata pencahayaan dan polesan panggung pun tak ada yang istimewa. Meskipun memang tak menjadikannya meriah, kekurangan ini bisa mengantarkan penonton untuk tetap fokus pada persembahan sang trio.
Dalam pertunjukan Mobile, kejenakaan diracik dengan teatrikal bisu yang menolong pertunjukan ini menjadi lebih hidup. Lihatlah bagaimana ketiga seniman itu mencoba membentuk formasi segitiga acak dengan menempatkan pemain bertubuh lebih tambun untuk duduk menggantung di sebilah papan. Di saat dua lainnya minum anggur, ia pun tergiur. Namun, gelas anggur yang diletakkan di tengah papan sulit terjangkau karena perut yang buncit. Dan penonton pun tertawa di atas 'penderitaan' si tambun. Kemampuan mereka berkomunikasi dengan penonton lewat adegan itu jelas menguntungkan. Jika tidak, maka pertunjukan itu hanya sekadar pamer kayu.
Secara matematis dan hukum gravitasi, pondasi tanpa penyimpul yang membuat papan dapat berdiri sendiri dan pola segitiga mampu bertumpu pada satu siku miringnya adalah hal yang mungkin. Namun, memang diperlukan keahlian sendiri untuk merangkai dan memperhitungkan titik-titik pondasi secara akurat.
Malam itu, ketiganya juga menyuguhkan permainan ayunan jungkat-jungkit dan enggrang yang makin mengikis jarak dengan penonton. Sebuah suguhan yang mampu membuka memori masa kecil sambil tertawa tergelak, sekaligus berdecak kagum pada atraksi mereka.
AGUSLIA HIDAYAH