TEMPO Interaktif, Jakarta- Nyoman Erawan membungkus gapura berukir yang biasanya menjadi latar panggung Bentara Budaya Bali. Kain putih yang membentang menggambarkan luasnya penjelajahan. Lukisan-lukisan abstrak aneka warna dipancangkan untuk memberikan kesan liar dan penuh keberanian.
Instalasi Erawan itu menjadi latar penampilan yang tepat bagi orkestra gamelan Sanggar Wrdhi Swaram dan Gamelan Salukat dalam konser bertajuk Triple 2: New Music for Gamelan di Bentara Budaya Bali, Ahad lalu. Ini adalah kelompok gamelan yang terinspirasi oleh mendiang Wayan Sadra, musikus dan komposer musik kontemporer. Mereka terinspirasi dalam keberanian untuk melakukan penjelajahan bunyi, meski dengan instrumen tradisional seperti gamelan.
Baca Juga:
Mereka mengawalinya dengan gending Penginter Alit, nomor tradisional yang sudah banyak dikenal. Meski diaransemen ulang, aturan nada gamelan masih terdengar normal dalam nada 4/4. "Pemainnya lebih santai karena sudah hafal cara memainkannya," kata Wayan Gde Yudane, yang bersama Dewa Ketut Alit menjadi komposer pertunjukan itu.
Suasana berubah 180 derajat pada penampilan kedua, ketika masing-masing kelompok memainkan aransemen yang berbeda. Sanggar Wrdhi Swaram mengolah komposisi karya Yudane, Water Seven. Di nomor ini, Yudane bercerita mengenai ritme dan gerak air melalui interpretasi bunyi dengan alat-alat gamelan menjadi medianya. Ia dibantu video artkarya videografer Australia, Ian White, yang menggambarkan pelbagai gerakan tubuh saat berada di dalam air.
Adapun Dewa Ketut Alit menampilkan komposisi bertajuk Gen, yang berbicara tentang kelahiran dan pertumbuhan. Nada-nada gamelan digunakan untuk menemukan bunyi yang tepat menggambarkan berbagai suasana. Para penonton terbius untuk memasuki wilayah imajinasi sang komposer. Apalagi kreasi ini dipadukan dengan video art karya Totok Parwata yang menampilkan rangkaian fenomena tentang kelahiran dan pertumbuhan.
Kedua komposer itu memperlakukan gamelan dengan cara yang berbeda. Komposisi musik tak mengacu pada pakem gending Bali yang mensyaratkan ada melodi utama. Alur musik bisa berubah tiba-tiba sesuai dengan musik yang hendak ditampilkan. Komposisi itu pun ditulis layaknya musik modern dengan partitur yang berbeda untuk setiap instrumen. Yang membedakan dengan musik modern, para pemain diminta menghafalkan partitur di luar kepala dan tak membacanya.
Alat-alat musik pun terkadang dimainkan dengan cara yang berbeda. Seperti gong yang digesek bagian pinggirnya atau suling yang ditiup terputus-putus. "Itu yang membuat pemainnya harus lebih berkonsentrasi," kaya Yudane.
Usaha mereka memadukan teknik Barat dan Timur itu bukanlah hal yang mudah. Latihan bagi para pemain menjadi lebih panjang karena harus dimulai dengan latihan perorangan sebelum dipadukan menjadi orkestra yang utuh.
Bagi Ketut Alit, pencarian terhadap bunyi-bunyi baru merupakan inspirasi dari Sadra. "Keberanian seperti Sadra yang dibutuhkan musikus muda seperti kami," ujar Ketut Alit, yang telah berkeliling ke Jepang, negara-negara Eropa, dan Amerika Serikat untuk mempertontonkan gamelan Bali itu. Namun, sebagaimana Sadra, dia menyadari penguasaan yang sangat tinggi terhadap gamelan juga harus menjadi dasar agar pencarian tak sampai membuat mereka kehilangan akar.
Adapun bagi Yudane, semangat Sadra berarti upaya agar bunyi-bunyi tak kehilangan konteks dan konten bakunya. Karena itu, dia memilih eksperimentasi tanpa memaksakan perkawinan antara gamelan dan jenis musik lain. "Itu membuat gamelan sekadar sebagai tempelan belaka," kata Yudane, yang meraih penghargaan Melbourne Age Criticism untuk creative excellentpada Festival Adelaide, Australia (2000), berkolaborasi dengan Paul Gabrowsky; juga penghargaan Helpmann untuk musik orisinal terbaik.
Bagi seniman Bali, pengaruh Wayan Sadra malah melampaui batas-batas seni musik. Nyoman Erawan, misalnya, menjadikan Sadra sebagai contoh seniman yang melampaui batas-batas kemapanan budaya Bali yang kadang nyaris disakralkan. Ia menghasilkan karya tak terduga dengan cara memainkan yang selalu mengejutkan. Menurut Erawan, dalam situasi industrialisasi seni seperti sekarang, Sadra adalah sebuah perkecualian.
ROFIQI HASAN