TEMPO Interaktif, Jakarta - Penampilan Slamet Gundono dalam pementasan bertema “Penyelamatan Lingkungan Air” di Kelurahan Pesantren, Kota Kediri, Jawa Timur, Ahad malam kemarin terasa ganjil. Menggotong sebuah kendi berisi air yang diletakkan di dalam ember, Slamet menempatkan wayang-wayangnya di dalam kendi. Agar tak rusak ketika tercelup air, bentuk wayang kali ini terbuat dari plastik bekas air mineral. “Selain tahan air, wayangnya juga bisa mengapung,” kata Slamet menjelaskan bentuk wayangnya yang baru.
Memainkan dua tokoh wayang banyu (air), Slamet mengusung cerita Pitakonku Marang Banyu (pertanyaanku pada air) di depan seniman dan masyarakat Kediri. Cerita tersebut banyak mengkritik perilaku manusia yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan hidup, khususnya air.
Di mata Slamet, air merupakan media sirkulasi yang besar, tempat di mana makhluk hidup memenuhi kebutuhan tubuh sekaligus membuang kotoran. Aliran air yang tenang juga menunjukkan ketulusan dalam melakoni perannya bagi makhluk hidup.
Perilaku manusia yang saling berebut sumber air, baik individu maupun industrialisasi, dikhawatirkan mengancam kelangsungan air. Bahkan tak menutup kemungkinan 100 tahun mendatang manusia akan berperang untuk memperebutkan air. “Jadi, tolong sisakan air untuk manusia yang akan hidup kelak,” kata Slamet.
Pergelaran kesenian yang digelar oleh komunitas GusDurian Kediri ini juga menampilkan kelompok seni Jalani Jalan Art Performances dari Kediri. Mengusung tema “Kembang Plastik Kali Kota”, mereka menyajikan tari kontemporer dengan media siluet. Celeng, binatang perusak tanaman yang rakus dan tamak diambil sebagai tokoh utama untuk menggambarkan perilaku pejabat pemerintah yang tak memiliki kepedulian lingkungan dan mengejar popularitas semata.
Ketua panitia pementasan, Toro Suharjo, mengatakan kegiatan ini merupakan bentuk keprihatinan komunitas GusDurian Kediri atas perusakan lingkungan, terutama air sungai. Perilaku ini juga telah merusak 50 persen sumber mata air di wilayah Kabupaten Kediri dan mengancam kehidupan manusia. “Kami tak ingin anak cucu kita kelak kehabisan air,” katanya.
Sungai Brantas yang menjadi sumber kehidupan masyarakat telah rusak oleh penambangan pasir liar dan limbah. Padahal, 60 persen warga di Jawa Timur bermukim di daerah aliran Sungai Brantas. Ironisnya, pemerintah yang memiliki kewenangan menyelamatkan sungai sibuk dengan persoalan politik.
HARI TRI WASONO