TEMPO Interaktif, Jakarta -Sasana mini itu penuh sesak. Lebih dari dua petinju bergumul di arena tersebut. Sarung-sarung busa merah menyala menyembul ke tepian ujung tali ring. Seolah mencoba keluar dari desakan ruang, para petinju itu justru bergulat. Gerakan tangan yang terbungkus sarung tadi mampu menciptakan koreografi seirama dengan ombak.
Ya, dunia tinju memasuki fase pemaknaan yang berbeda ketika disandingkan dengan seni. Seorang koreografer asal Prancis, Mourad Merzouki, mencoba menerjemahkan sebuah pemahaman luas antara seni dan olahraga. Dalam pergelaran seni bertajuk Boxe Boxe, yang digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin malam lalu, Merzouki dan kelompoknya, Kafig, memadukan tari hip-hop dengan teater, musik klasik, dan tinju.
Dengan terus diiringi musik dari empat musisi yang menggesek biola dan cello, para penari gagah itu terus bergerak. Ada satu penari wanita di antara tujuh penari pria. Plus, seorang wasit jenaka, yang lingkaran perutnya tambun berisi busa pasir.
Tinju agaknya menjadi perwujudan kemasan yang pas dengan tari energetik hip-hop dan gerakan karate. Merzouki, yang memang mendalami kedua bidang olah tubuh itu, menempatkan konsep tinju sebagai medium berkreasi dalam seni hip-hop. Tak perlu mengernyitkan dahi untuk bisa memahami suguhan teatrikal dalam koreografi itu, karena pada dasarnya kepuasan visual ada pada koreografi yang lincah dan bersemangat.
Kekontrasan antara koreografi dan musik pengiring mampu menyeimbangkan adrenalin dan mengontrol emosi jiwa para “petinju lentur” di atas panggung. Olahraga tinju yang membutuhkan lawan main itu, dalam koreografi ini, menggambarkan kehidupan yang terkadang keras. Manusia, dalam kehidupan sosialnya, tak hanya membutuhkan teman namun terkadang juga menghadapi lawan.
Mungkin, itulah yang hendak disuarakan Merzouki lewat koreografi berpasangan di tengah babak tersebut. Beberapa penari dipasangkan hingga berduel lalu roboh salah satunya. Bahkan sang wasit jenaka pun kebagian bogem nyasar, saat terjadi kericuhan para petinju.
Penggunaan tata artistik yang mudah dicopot-pasang menjadi kekayaan karya Merzouki di atas panggung. Sasana tinju bisa menyesuaikan diri hingga membentuk ring segitiga yang akhirnya menyeret pertandingan tinju ke sudut belakang panggung. Para pemusik pun tak hanya berdiam di satu titik. Keempatnya memiliki kursi dengan alas beroda hingga mampu berpindah-pindah dengan halus.
Di ujung pertunjukan, seorang penari tampak begitu bersemangat. Ia menendang, meninju, dan ber-hip-hop, seolah energinya tak kunjung habis. Di titik terakhir, ia kelelahan, terpuruk di sudut panggung dengan siraman sinar temaram. Ia tersungkur, meratap di lantai dan disaksikan penari lain. Lewat suguhan itu, Merzouki ingin menegaskan betapa segala sesuatu yang berlebihan akan berujung tidak baik.
AGUSLIA HIDAYAH