Selain Mukhlis, perupa yang lain adalah Yakobus Elka dan Dodo "Cak Do" yang menetap di Jakarta, Fachreza Jayadimansyah asal Depok, Yonrizal asal Bogor, Agus Siswanto asal Solo dan Soemaryo Hadi asal Pati.
Satu hal yang mengikat mereka: "Kami adalah teman lama," kata Mukhlis. Pertemanan mereka terhubung tak sekadar dari kesamaan profesi saja, melainkan juga dari kesamaan gagasan bahwa tak perlu ke kota besar, seperti Jakarta, untuk meraih mimpi. "Kami justru memilih di daerah," kata dia.
Meski satu ide dalam urusan perkoncoan, tapi soal karya tentu tak ada batasannya. Semua berbeda, sesuai dengan karakter masing-masing perupa. Mukhlis, misalnya, cenderung realis. Karyanya yang berjudul "Kunci Intervensi" menggambarkan sebuah kursi kosong dengan latar belakang istana yang samar. Di bawah kursi tergeletak sebuah bola.
Gaya lukisan yang terinspirasi dari kemelut di tubuh Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia itu jelas berbeda jauh dengan gaya kubisme yang diusung Agus Sis. Dalam karyanya yang berjudul "Alu dan Lumpang", Agus melukis sosok seseorang yang menumbuk lesung dengan alu.
Gaya Agus itu tak jauh berbeda dengan Dodo. Dalam "Cuci Otak" yang berukuran 60x60 sentimeter, misalnya, obyek lukisan Dodo mirip bagian-bagian tubuh manusia dalam warna merah pekat. Adapun di sisi kanan atas lukisan, pelukis kelahiran Sidoarjo itu menambahkan ornamen kubus berwarna biru.
Beberapa di antara para perupa itu belajar seni lukis secara otodidak, seperti Soemaryo, yang menampilkan lukisan "Gapura Srigala" dan Yonrizal dengan "Pusaran".
Perupa Godod Sutejo menuliskan sebuah catatan sebagai pengantar pameran mereka. Di dalamnya, dia mengatakan bahwa Yogyakarta memang istimewa. Banyak wisatawan asing datang untuk menikmati alam dan kebudayaannya. Dengan posisi itu, maka Yogyakarta adalah pilihan tepat untuk tampil. "Karena Jogja adalah pintu gerbang Indonesia sebagai barometer seni rupa nusantara," tulisnya.
ANANG ZAKARIA