Penghentian yang dipimpin Kepala Seksi Ketertiban Djati Utomo ini dilakukan Rabu siang, 25 Mei 2011, saat para pekerja bangunan CV Jamiatul Wali Rosyidin (JWR), perusahaan yang membeli rumah itu, tengah melakukan pembongkaran rumah Soerachmat di Jalan KDP Slamet, Kelurahan Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.
Pembongkaran ini dinilai menyalahi keputusan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan dan Pemerintah Kota Kediri yang melarang perobohan rumah yang berada di kawasan cagar budaya. "Sekarang juga tinggalkan tempat ini," kata Djati Utomo kepada para pekerja.
Tindakan petugas ini terjadi menyusul sikap Direktur JWR Mohammad Alwi Mubarok yang nekat merobohkan rumah itu untuk dijadikan kafetaria dan lapangan futsal. Meski telah terjadi kesepakatan untuk tidak mengutak-atik bangunan bersejarah milik pendiri Kodam Brawijaya ini, namun Alwi dengan diam-diam telah merobohkan sebagian besar bagian rumah.
Menurut pantauan Tempo, separuh bangunan rumah induk pada bagian belakang telah rata dengan tanah. Bangunan di sebelah utara rumah induk juga lenyap. Demikian pula dengan kamar tamu dan paviliun di sebelah selatan rumah induk yang menyisakan puing-puing batu bata. Cara pembongkaran seperti ini diduga untuk mengelabui perhatian pemerintah dan BP3 yang berusaha melindungi bangunan.
Tak hanya berusaha merobohkan rumah, para pekerja juga telah mendirikan petak-petak bangunan di halaman untuk dijadikan kafetaria. Seluruh aktivitas ini dilakukan di dalam pagar seng yang menutup seluruh areal rumah. "Jangan ada yang coba-coba meneruskan pembongkaran," ancam Djati Utomo, yang mengaku diperintah Sekretaris Daerah Kota Kediri, Agus Wahyudi, untuk menghentikan pembongkaran.
Ahli waris Kolonel Soerachmat, Letnan Kolonel Purnawirawan Theo Veseke, mengaku kesal dengan sikap Alwi Mubarok. Menurut dia, Alwi telah menipunya dengan tetap melakukan pembongkaran rumah. Apalagi pembayaran yang dilakukan kepada ahli waris baru 20 persen dari nilai penjualan yang Rp 5 miliar. "Masak baru ngasih deposit satu miliar sudah bongkar-bongkar bangunan," katanya.
Theo juga mengaku membuka konfrontasi dengan Alwi Mubarok, yang dianggap terlalu mengejar bisnis. Seharusnya dia mengindahkan himbauan BP3 dan Pemerintah Kota Kediri untuk menunda pembangunan lapangan futsal sebelum ada kajian arkeolog terkait rumah itu. "Saya bisa batalkan jual-beli ini kalau dia seenaknya," kata Theo.
Pembongkaran rumah Kolonel Soerachmat untuk dijadikan lapangan futsal ini terus menuai kontroversi setelah sejumlah budayawan Kediri memprotesnya. Selain berada di kawasan cagar budaya, rumah itu juga berdiri di antara dua bangunan bersejarah, yakni rumah dinas Kapolwil Kediri dan Gereja Immanuel. Keberadaan lapangan futsal ini dikhawatirkan akan mengancam bangunan bersejarah di sekitarnya.
HARI TRI WASONO