TEMPO Interaktif, Jakarta - Tubuh lelaki itu terus menggeliat pada sebuah bidang. Sesekali, ia bergelayut hingga akhirnya kakinya menyentuh tanah. Tubuhnya terus bergerak, melangkah perlahan meninggalkan bidang itu. Dia pun bersimpuh, kepalanya menengadah ke atas, tertunduk, dan membenamkan mukanya ke tanah. Bidang itu terus bersuara krek... krek...krek.... Bagai mesin waktu yang terus bergerak, berputar dalam kehidupan. Sebuah harmoni gerak dan suara.
Itulah sepenggal pementasan tari kontemporer karya koreografer Jefri Andi Usman dan Tabusai Dance Company di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu malam, 21 Mei 2011. Lewat karya bertajuk Phase, yang terdiri atas dua babak (Tanah Merah dan Padusi), Jefri menampilkan perubahan peradaban, ketika manusia tak lagi menghargai alam, yang menjadi sumber kehidupan. Plus pergeseran peranan dan nilai wanita. "Menceritakan sebuah hubungan manusia dengan alam, juga manusia dengan manusia. Komplet antara tradisi, perempuan, dan modernitas," kata Jefri.
Hubungan manusia dengan alam digambarkan Jefri pada babak pertama, Tanah Merah. Alumnus Institut Kesenian Jakarta ini menampilkan salah satu babak kehidupan manusia, saat manusia mencoba mendekatkan diri dengan alam, menghargai alam, dan ikut merasakan sakitnya alam. Antara sadar dan tidak sadar, alam mulai menjauh dari kehidupannya. Bumi telah rusak. Tak ada air, tanah, dan udara yang bersih. Semua kotor akibat ulah buruk manusia.
Baca Juga:
Jefri menggambarkannya melalui tujuh pohon yang meranggas, tak ada dedaunan hijau yang menghiasinya. Hanya tersisa batang. Juga saat beberapa kali tubuhnya terpelanting, yang menggambarkan sakitnya alam akibat ulah manusia.
Tak hanya itu, pergeseran tradisi juga telah membuat manusia mulai melupakan ritus ritual. Sebuah upacara yang menghubungkan manusia dengan segala kekuatan yang tak terbatas yang bisa menyatukan dengan alam. Upacara terhadap angin, air, api, dan tanah. Panggung pun berubah menjadi merah. Seolah menggambarkan tanah berubah menjadi merah berlumur darah. "Inilah yang terjadi sekarang. Akibat modernitas, manusia sering melupakan ritus ritual," ujar Jefri.
Berbeda dengan babak pertama, yang lebih mengedepankan penyatuan antara jiwa dan energi sang koreografer terhadap alam, pada babak kedua teknik gerak tari lebih terlihat. Gerakan-gerakan yang lebih energetik, yang sering terlihat pada tarian Minang, yang menjadi konsep dasar pementasannya, lebih kental. Mulai dari musik tradisi Minang, kain perca khas Minang yang biasa menghiasi pesta, hingga wanita dengan busana adat Minang menjadi sajian berbeda pada babak kedua, yang bertajuk Padusi. Dalam bahasa Minang, padusi berarti perempuan.
Pergeseran nilai feminisme di ranah Minang akibat perubahan zaman dan modernitas menjadi inti pementasan yang pernah dimainkan pria kelahiran Padang, Sumatera Barat, 39 tahun lalu, ini. Seorang wanita berbusana merah khas Minang mengenakan sunting di rambutnya, yang satu per satu dilepas dan dilempar ke arah kain perca. Saat wanita itu menyembur kain dengan air minuman kaleng dari mulutnya, hal itu menggambarkan pemberontakan kaum Hawa di Minang.
Demikian juga saat privasi kaum perempuan yang sudah mulai bercampur dengan kaum Adam, Jefri melukiskannya dengan permainan lighting. Bias cahaya yang semula terdiri atas kotak, satu menerangi wanita dan satu menerangi pria, akhirnya melebur menjadi satu dan membawa kedua penari, yakni Davit dan Maria Bernadeth, berada dalam satu cahaya. "Cahaya yang terkotak-kotak itu simbol dari ruang privasi antara wanita dan pria, yang akhirnya harus bersatu saat menjalin sebuah hubungan suami-istri," Jefri menjelaskan.
Penampilan babak kedua terlihat lebih energetik. Selama satu jam, Jefri menampilkan pementasan yang menggambarkan perjalanan dari satu fase ke fase berikutnya, saat manusia tak lagi menghargai alam serta meninggalkan tradisi karena tuntutan dan tergerus modernitas.
SURYANI IKA SARI