Digelar di pendopo Dalem Yudoningratan, empat anak akan bertanding per harinya. “Akan diambil dua yang terbaik untuk festival nasional,” kata Kepala Seksi Kesenian Dinas Kebudayaan Yuliana Eni Lestari Rahayu.
Para peserta festival berasal dari daerah di Yogyakarta. Meski usianya masih sangat belia, bocah-bocah itu mahir memainkan wayang. Wahyu Catur Pamungkas asal Bantul, misalnya, yang membawakan lakon Kongso Leno.
Lakon itu berkisah tentang Kongso yang terjebak dalam nafsu molimo (lima larangan). Dengan durasi waktu pementasan untuk masing-masing peserta selama 40 menit, dia harus bersaing dengan tiga anak seusianya. Putra Laksana Tanjung, Aldi Priambodo, dan Bayu Promo Prasopo Aji.
Menurut Eni, selain mempersiapkan peserta dalam festival mendalang nasional, festival kali ini sekaligus menjadi media regenerasi dan pembinaan dalang di Yogyakarta.
Sekretaris Persatuan Pedalangan Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Joko Budiarto, mengatakan, saat ini ada sekitar 20 orang dalang di masing-masing Kabupaten dan Kota di Yogyakarta. Tak semua dari dalang itu dikenal luas masyarakat. Para dalang itu dikategorikan orang-orang dewasa yang pernah tampil mendalang.
Adapun dalang remaja, yang berusia antara15-23 tahun di masing-masing daerah, jumlahnya berkisar 5-10 orang. Mereka berlatih di sanggar-sanggar pedalangan yang didirikan dan dikelolah oleh dalang-dalang profesional.
Berbeda dengan sebaran dalang dewasa dan remaja yang merata di masing-masing kota dan kabupaten di Yogyakarta, dalang cilik tak merata. Jika di Sleman, Bantul, dan Gunung Kidul, jumlahnya 4-5 orang dan di Kota Yogyakarta berjumlah 3 orang. “Sedangkan dalang cilik asal Kulonprogo, belum ada,” kata Joko.
Joko menyanyangkan, dukungan pemerintah terhadap munculnya dalang cilik masih terbatas. Semestinya materi pedalangan bisa diberikan pada siswa sekolah sebagai muatan lokal pelajaran. Tapi, hingga kini muatan lokal itu belum diterapkan di sekolah-sekolah. “Kalaupun ada, pasti sangat kecil,” katanya.
ANANG ZAKARIA