TEMPO Interaktif, Makassar - Suara alat tiup memecah keheningan malam itu. Sejurus kemudian, Daeng Manda telah memasuki ruangan tengah Istana Tamalate Kabupaten Gowa diiringi perempuan berbaju bodo. Di belakang iringan yang membawa erang-erang berupa boneka pakarena perempuan, ke-12 penari utama sudah berbaris mengenakan sigara (penutup kepala). Mereka membawa tombak, perisai, dan kipas. Di kaki kanan penari terpasang gelang berwarna keemasan. Tiap kali penari bergerak, gemerincing gelang kaki bersahutan dengan alunan musik. Tak lama berselang, salah seorang penari bersila menghadap ke Daeng Manda yang kemudian bibirnya berkomat-kamit merapal mantra.
Tarian yang direkonstruksi oleh pria kelahiran Sidrap itu menarik perhatian penonton sekaligus mengundang kontroversi. Persoalannya, mayoritas masyarakat belum pernah mendengar tarian itu, apalagi melihat tari pakarena yang dibawakan oleh kaum pria. "Saya tidak tahu tari pakarena bura'ne kasuwiang. Unsur gerak dan musiknya diambil dari mana. Ini hal yang baru," kata salah seorang penonton yang juga musisi, Solihin, dalam sesi diskusi, Sabtu, 21 Mei 2011. Lebih jauh, Solihin mengatakan perlu ada pijakan dasar, baik lisan maupun di prasasti, untuk mengatakan bahwa tari ini sudah ada sejak dulu.
Baca Juga:
Menanggapi hal itu, Daeng Manda mengatakan dulu ada nama daerah Kasuwiang Selatan di Tanah Gowa yang terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil. Kala itu, jika ada wabah yang menyerang, kerajaan kecil ini berkumpul mendatangkan roh untuk ditanyai perihal musibah yang menimpa kerajaannya. "Roh tersebut dipanggil untuk dimintai jawaban tentang wabah yang menimpanya. Biayanya besar, jadi kerajaan-kerajaan kecil berkumpul," katanya dalam bahasa Makassar. Untuk itu, ia tak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa penghubung roh dengan manusia adalah bissu lantaran tari pakarena bura'ne kasuwiang sejak dulu digunakan sebagai mediator dalam pemanggilan roh.
Gerak tarian pakarena bura'ne kasuwiang pun jauh dari kesan tangkas dan lincah sebagai refleksi kaum Adam yang memainkannya. Gerakannya lambat dan monoton. Menurut Daeng Manda, tarian tersebut hidup dan berkembang di komunitas suku Gowa dan Pangkajene Kepulauan. Hal itu merupakan perwujudan tiga tingkat alam kehidupan manusia, yakni alam atas (rate), alam tengah (tangnga), dan alam bawah (irawa), serta sembilan lubang kehidupan pada tabuh manusia. "Itulah alasannya kenapa ada 12 penari," ujar Daeng Manda.
Tarian ini juga berfungsi sebagai pengusir roh jahat dan wabah penyakit. Selain itu, pakarena bura'ne kasuwiang digelar saat panen berhasil dilakukan sebagai wujud syukur kepada Dewi Padi (Sangiang Serri).
Pada saat agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan, khususnya Gowa, yakni pada paruh abad XVI yang kemudian menjadi agama resmi kerajaan itu, tarian ini menjadi tarian kebesaran kerajaan.
Tarian kaum Adam ini selanjutnya menjadi tarian perang dan dilakoni untuk mengantar atau menjemput pasukan Kerajaan Gowa. Dalam lontara Pau-pau Anna Sere 'Jaga ri Butta Gowa disebutkan tari pakarena bura'ne kasuwiang merupakan salah satu tarian tertua di Gowa yang bersifat ritual dan sakral. Secara spesifik, menurut Manda, tarian ini tak dilakukan sembarangan. Ada periode pelaksanaan untuk melakukan tarian ini. "Biasanya dilakukan tiga atau tujuh tahun sekali berdasarkan tingkat kesengsaraan rakyat. Artinya, ketika ada wabah menyerang, tarian ini digelar," kata pria yang pernah menjadi pengajar di IKIP Makassar ini.
Tarian ini direkonstruksi Daeng Manda pada 1994-2010. Ada banyak ritual yang harus dijalani oleh ke-12 penari itu, termasuk puasa sebelum menari. Hal itu diakui oleh salah seorang penari, Akbar. Setiap penari harus melakukan upacara ritual adat dengan sesaji berupa beras, kemenyan, dan lilin. Ini dimaksudkan agar pertunjukan berlangsung lancar. "Ada banyak ritual yang dilewati. Bapak (Daeng Manda-red) selalu membaca doa kayak mantra saat awal latihan," katanya.
Pergelaran tari pakarena bura'ne kasuwiang ini merupakan kegiatan yang terlaksana atas kerja sama Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gowa bersama Yayasan Indonesia Lestari.
TRI YARI KURNIAWAN