TEMPO Interaktif, Yogyakarta - “Tak...tung... geblak gentung...gooong”. Itu bukan tiruan suara musik. Namun, benar-benar terucap dari mulut delapan personel Acapella Mataraman Yogyakarta. Teresia Wulandari, Eny Lestari, Fransisca Lana Daruningtyas, Sandya Malakeano, Fajar Sri Sadana, Arya Dani Setiawan, Mawan Sinung Nugraha, dan Pardiman Djojonegoro.
Dinyanyikan dalam berbagai ritme nada, sesekali diselipkan aksi kocak Pardiman, sang punggawa kelompok “opera cangkeman” itu. Tak ayal, penampilan mereka pun memukau ratusan penonton yang memadati kursi pertunjukan Gedung Societed Taman Budaya Yogyakarta, Selasa, 17 Mei 2011 malam. Apalagi, koor suara mereka cukup kompak terdengar.
“Prek! Yo ben. Cuek bebek,” tutur tiga perempuan personel kelompok itu. Suaranya nyaring melengking, menyela kompak ucapan lima personel lain yang sedang meniru nada gamelan. Aksi itu membuat penonton terpingkal dan menyambutnya dengan tepuk tangan meriah.
Setelah 15 tahun mengasuh Acapella Mataraman, Pardiman Djojonegoro mendapat kesempatan menampilkan musiknya dalam ajang Singapore Arts Festival di Singapura, 24-25 Mei mendatang. Pementasan di Taman Budaya Yogyakarta dengan tema Pamit Nyang Singapur (Pamit Ke Singapura), malam itu, menjadi ajang gladi resik sebagai bentuk persiapan pementasan di negeri orang. “Tanggal 23 (Mei) kami akan berangkat,” kata Pardiman usai pementasan di Taman Budaya Yogyakarta.
Seperti yang terungkap dalam pentas persiapan itu, ada tiga materi pementasan yang akan ditampilkan di acara bertajuk Javanesse Moonlight di Singapura itu. Materi pertama berisi lagu berjudul "Wangsalan Lintas Batas", "Malioboro", dan "Nusantara Pengkuh Bakuh".
Di segmen kedua, Acapella Mataraman membawakan "Balada Wisanggeni" yang bercerita tentang kelahiran Wisanggeni, "Goro-Goro", "Jineman Uler Kambang", dan "Know What Did In The Morning". Segmen ini berisi repertoar yang mendistorsi pementasan wayang kulit. Suara tetabuhan musik gamelan ala Acapella dibawakan dengan paduan nyanyian sinden.
Adapun segmen terakhir diisi dengan komposisi "Njeplak Thuntung". Dalam segmen ini, penampilan mereka mirip sekelompok pemusik orkestra dengan Pardiman sebagai pemimpin orkestra.
Di sela pergantian segmen pementasan itulah, Pardiman hadir dengan ocehannya yang kocak. Berkata-kata dalam bahasa Inggris sepotong-potong dengan logat Jawa, menirukan bahasa India dan Mandarin, hingga bersiul dan bersenandung. Meski terkesan ngawur dalam berbahasa asing, justru di sanalah letak kekuatan humor pementasan ini.
Untuk membawakan semua lagu dan repertoar tersebut, setidaknya dibutuhkan waktu 1,5 jam lebih. Maklum, beberapa di antaranya membutuhkan durasi waktu yang cukup panjang. "Balada Wisanggeni" misalnya, ditampilkan tak kurang dari 25 menit. “Proses persiapan pementasan ini kami persiapkan sejak Desember lalu, dari ide hingga latihan,” kata Pardiman.
Dia mengakui memang ada sejumlah kekurangan, misalnya kostum warna cokelat kalem yang dinilai terlalu sederhana hingga latar belakang panggung yang tak mendukung. Namun, kesederhanaan itu menurutnya telah sesuai dengan tema pementasan di Singapura. “Menggali sesuatu yang lama terpendam, yakni (sifat) kesederhanaan dalam hidup,” katanya.
ANANG ZAKARIA