TEMPO Interaktif, Yogyakarta - - Pertunjukan Wayang Kampung Sebelah, wayang nyetrik asuhan Ki Dalang Jlitheng Suparman mementaskan lakon Simatupang (siang malam tunggu panggilan) di Langgeng Art Foundation (LAF) Yogyakarta, Kamis (12/5) malam kemarin.
Tak seperti lazimnya wayang kulit yang biasa dipentaskan semalam suntuk, pementasannya tak lebih dari satu jam. “Kami hanya main 40 menit,” kata Max Baihaqi, pemetik gitar sekaligus penata iringan, Minggu (15/5).
Simatupang, berkisah tentang kampret, tokoh utama, sebagai seorang pelukis yang lukisannya tak laku-laku. Dia menemui kurator lukisan ternama, Enin Supriyanto, bahkan kolektor, Hong Djien, agar lukisannya laris manis dibeli orang. “Kalau dibawa Hong Djien, dijamin laku,” kata dia.
Jenaka dan penuh canda. Menurut Max, sebelum dipentaskan, mereka mendiskusikan kisi-kisi lakon yang akan dibawakan dengan Enin, yang juga menjabat Direktur LAF. Selain disesuaikan dengan tema acara yang akan berlangsung, kegiatan diskusi itu sekaligus sebagai survei yang menjadi ritual persiapan pementasan.
Dalam tiap pementasannya, Wayang Kampung Sebelah memang mengangangkat tema persoalan sehari-hari tentang kondisi yang berlangsung di masyarakat. Fenomena itu disampaikan pada masyarakat dengan cara yang ringan dan penuh humor. Singkat kata, pesan penyadaran yang disampaikan dengan cara yang lebih humanis. Mencubit tapi tak sakit. “Mengajak (penonton) menertawakan diri sendiri,” kata Max.
Bukan cuma lakonnya saja yang berbeda dengan wayang purwa. Musik pengiringnya pun bukan gamelan. Kelompok yang bermarkas di Desa Siwal, Kecamatan Baki, Sukaharjo, Jawa Tengah ini mengusung peralatan musik yang lebih modern. Selain Max yang bermain gitar, ada juga Yayat Suheryatna (jimbe), Nadias (bass), Gendhot (Saksofon), Kukuh (Kendang) dan Gusur (drum). Juga ada empat orang vokal yang mengiringi pementasan wayang. Mereka adalah Joko Ngadimin, Dwi Jaya Syaifil Munir, Cahwati dan Sarno.
Jlitheng Suparmanmengakui pementasan di Langgeng Art Foundation hanya berlangsung singkat. Kisi-kisi cerita yang akan dipentaskan merupakan hasil pendiskusian antara Max dan Enin sebelumnya. “Hasil diskusi itu yang kemudian Max berikan ke saya,” kata Jlitheng.
Namun bagi Jlitheng, kualitas penampilan malam itu sangat ditentukan oleh perjalanan panjang kelompok Wayang Kampung Sebelah yang didirikan pada 2001 silam. Sepanjang itu mereka terus berkarya hingga menemukan format yang pas dalam mementaskan wayang yang berbeda dibanding dengan wayang umumnya. “Ibaratnya pembuat film, kami telah punya (format) dan tinggal memasukkan pada konten cerita yang akan dimainkan,” katanya.
Diakuinya, Wayang Kampung Sebelah berusaha menampilkan senyata mungkin realitas yang berkembang di masyarakat kini. Tak harus sanjungan yang ditampilkan di atas kelir wayang. “(itulah) fakta yang terjadi di dunia seni rupa, itu realitas yang unik,” kata dia memberi komentar tentang pementasan Simatupang.
ANANG ZAKARIA