Akal licik pun dikeluarkan VOC untuk menghasut para pemimpin golongan pribumi dengan sekantong gulden. Namun, kebijakan pembantaian itu langsung ditentang oleh Madi bin Somad, seorang guru silat keturunan Betawi asli Bidaracina, bersama anaknya, Said, dan tiga murid setianya, Kosim, Komar, dan Kompor. Itu membuat status keluarga Madi dan ketiga muridnya dicap sebagai pembangkang. Pertumpahan darah pun terjadi. Keluarga Nie Lee Kong yang merupakan ketua perguruan Hong Jian menjadi sasaran utama VOC.
Itulah sepenggal adegan drama musikal Sangkala 9/10 yang dimainkan oleh Ikatan Abang None Jakarta (IANTA) di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat-Ahad lalu. Musikal itu mengisahkan peristiwa pembantaian etnis Tionghoa oleh pemerintah kolonial Belanda di suatu senja pada 9 Oktober 1740 di kota Batavia. "Ini merupakan salah satu usaha untuk mengenalkan budaya Betawi dengan cara yang lain,” kata produser musikal Sangkala 9/10, Maudy Koesnaedi.
Berangkat dari hal-hal tradisi, sutradara Adjie Nur Ahmad mencoba mengggali tradisi-tradisi yang ada menjadi sebuah pementasan yang sarat akan kekinian. "Sehingga sejarah juga bisa diterima oleh generasi muda sekarang. Lagu-lagu juga tidak melulu Betawi, tapi dicampur dengan lagu-lagu masa kini,” ujar Adjie, yang aktif di komunitas Peqho Teater.
Unsur komedi, kegembiraan, kesedihan, kebersamaan, pertentangan geng Cina dan Betawi, hingga kisah cinta antara putri Nie Lee Kong, Lily, dan putra Madi, Said, mewarnai panggung pementasan selama dua setengah jam. Penggunaan tiga jenis musik, Betawi, Tionghoa, dan Belanda memberikan warna tersendiri dari pementasan. Visualisasi pembantaian yang disajikan di balik layar putih tipis sehingga penonton hanya melihat sebuah bayangan bak pertunjukan wayang kulit juga membuat pementasan terlihat apik. Penonton tak harus melihat darah berceceran, tapi hanya berupa visualisasi warna merah di layar putih.
Sayangnya, penggunaan bahasa seperti dialek Betawi, Cina, dan Belanda dalam dialog justru mengganggu. Selain pelafalan yang kurang pas, dialog juga terkesan bertele-tele. Meski terdapat 15 lagu, drama musikal Sangkala 9/10 ternyata masih jauh dari kesan musikalnya. Tarian dan nyanyian masih terbilang jarang selama pertunjukan. Penonton justru disuguhi dialog-dialog dan canda-candaan ala Betawi yang justru terkesan maksa.
Penonton juga dibuat menunggu saat perubahan setting panggung selama 20-30 detik setiap pergantian setting yang berlangsung hingga sebelas kali. Belum lagi terjadi insiden pohon yang tersangkut sehingga membuat lebih lama pergantian setting panggung. Entah karena bosan atau sudah terlalu malam, saat pergantian setting panggung keempat, sudah terlihat penonton yang meninggalkan gedung Teater Jakarta.
Akhir cerita juga dibiarkan menggantung, yang menampilkan Lily dan sang nenek mendayung sebuah perahu yang disinari cahaya bulan sehingga klimaks cerita pementasan Sangkala 9/10 tak terasa. Sebuah pesan moral yang bisa dipetik dari pementasan ini, agar masyarakat tak mudah dihasut seperti yang terjadi di Tanah Air belakangan ini. "Berbeda-beda, tapi bukan berarti tidak dibela,” ujar Maudy.
SURYANI IKA SARI