Namun, dibalik gedung megah dan terlihat baik-baik itu, sebenarnya kondisi Lokananta sungguh memprihatinkan. Perusahaan rekaman musik pertama di Indonesia milik negara itu terancam bubar karena tak mendapat dukungan dana yang memadai. “Tidak ada dukungan modal sama sekali dari pemerintah. Untuk memproduksi sebuah rekaman saja, karyawan Lokananta harus patungan. Kami harus swasembada,” kata Pendi Haryadi, pimpinan Lokananta, saat ditemui Tempo Maret lalu.
Pendi mengakui, sungguh berat menjaga dan memelihara aset Lokananta jika tak ada dukungan dari pihak lain. Dengan hanya mengandalkan penjualan jasa rekam ulang lagu-lagu lama serta menyewakan sebagian properti Lokananta untuk kantor asuransi dan usaha futsal, jelas tak bisa mensejahterakan 20 orang karyawannya. “Apalagi, berangan-angan Lokananta bisa bersaing dengan industri rekaman modern lainnya di Indonesia,” ujarnya.
Lokananta berawal dari sebuah pabrik piringan hitam sederhana yang dirintis oleh dua pegawai Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta, Jawa Tengah, Oetojo Soemowidjojo dan Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero, pada 1950. Sekitar enam tahun kemudian, tepatnya 29 Oktober 1956, Lokananta resmi berdiri dengan nama Pabrik Piringan Hitam Lokananta, Jawatan Radio Kementrian Penerangan RI di Surakarta.
Fungsi utama Lokananta adalah merekam dan memproduksi (menggandakan) piringan hitam untuk bahan siaran 27 Studio RRI di seluruh Indonesia. Jadi sifatnya non-komersial. Tapi, Lokananta kemudian diperbolehkan menjual piringan hitam produksinya kepada umum melalui Pusat Koperasi Angkasawan RRI (Pusat) Jakarta.
Dalam perjalanannya, Lokananta sempat beberapa kali mengubah statusnya. Pada 1961, Lokananta diubah statusnya menjadi Perusahaan Negara dan mulai memperluas bidang usaha yakni untuk produksi ponograms (piringan hitam dan pita suara kaset atau bentuk media rekam lainnya).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2001, Lokananta telah dilikuidasi dan ditetapkan sebagai Penambahan Penyertaan Modal Perum Percetakan Negara RI. Dan sejak 2004, Lokananta menjadi Perum PNRI Cabang Surakarta dengan cakupan tugas sebagai salah satu pusat multimedia, rekaman (kaset dan CD), remastering, dan pengembangan percetakan serta Jasa Grafika. Plus, kegiatan di dunia penyiaran hingga sekarang.
Lokananta sempat mengalami masa keemasan sepanjang 1970-an hingga 1980-an. Perusahaan ini juga menjadi label rekaman yang legendaris. Di tempat ini, sejumlah musisi dan seniman besar Indonesia merekam karya-karyanya. Musisi keroncong, Gesang dan Waldjinah, pernah menikmati masa kejayaannya melalui karya-karyanya yang direkam dan dipasarkan melalui Lokananta. Dalang kondang Ki Narto Sabdo juga secara rutin merekam pentas pertunjukan wayangnya di Lokananta. Selain itu, Narto Sabdo, yang juga sangat produktif mencipta gending-gending Jawa, merekam karyanya itu di Lokananta.
Tak hanya itu. Di Lokananta juga terdapat koleksi penting dan sangat langka, rekaman pidato kenegaraan Presiden Soekarno maupun pidato para kepala negara asing yang sedang berkunjung ke Indonesia. Lokananta bahkan memiliki rekaman lagu Indonesia Raya versi tiga stansa yang sempat menjadi polemik. Tempat ini juga menyimpan bukti rekaman sekitar 5000 lagu daerah dari seluruh Indonesia, termasuk rekaman lagu Rasa Sayange dari Maluku yang sempat dibagikan kepada kontingen Asian Games pada 1962. Dan beberapa waktu lalu lagu ini juga sempat diklaim Malaysia sebagai miliknya.
Sampai saat ini, Lokananta masih menyimpan sekitar 40.000 keping piringan hitam yang pernah diproduksi, dari lagu-lagu daerah, lagu hiburan (pop), keroncong, wayang, gending-gending Jawa, hingga pidato-pidato kenegaraan. Koleksi piringan hitam itu kini disimpan dalam rak-rak pada salah satu ruang berukuran 6 kali 8 meter di kompleks Lokananta. “Dulu, sisa produksi itu ditumpuk di gudang. Sebagian bahkan sudah rusak dimakan rayap. Ini hanya sebagian yang masih bisa diselamatkan,” kata Bemby Ananto, staf bagian remastering Lokananta.
Menurut Bemby, masyarakat bisa membeli koleksi piringan hitam produksi Lokananta yang kini disimpan di ruang khusus itu. Hanya, yang bisa dibeli adalah album rekaman yang stok produksinya masih banyak. Album rekaman (baik gending Jawa, wayang, keroncong, lagu daerah, maupun lagu pop) yang stoknya sudah minim, tak lagi bisa diperjual-belikan. “Harganya sekitar Rp 250.000 per keping piringan hitam. Memang cukup mahal, namun kualitasnya masih sangat baik,” ujarnya.
Di ruangan lain, yang kini difungsikan sebagai museum, tersimpan perangkat mesin perekam yang pernah digunakan sepanjang 1950-an hingga 1980-an. Mesin-mesin perekam itu semuanya produksi Jerman dengan merk Studer. Dulu, mesin-mesin perekam tersebut hanya ditumpuk di gudang. Setelah dibersihkan, kini sebagian ditempatkan di ruangan 6 kali 10 meter, yang menjadi museum.
Selain mesin-mesin perekam, di ruangan itu juga tersimpan mikrofon yang pernah digunakan untuk rekaman. Mikrofon bermerk Neumann buatan Jerman ini adalah yang terbaik pada zamannya. Ada sekitar delapan mikrofon merk Neumann yang disimpan di lemari kaca dengan kunci pengaman.
Bemby menyatakan, banyak orang asing yang tertarik dengan koleksi mikropon tersebut. Mereka ingin membelinya dengan harga tinggi. “Kami jelas menolak karena ini koleksi museum,” katanya. “Saya tidak tahu persis berapa harganya. Namun kabarnya satu mikrofon ini bisa untuk membeli satu buah mobil.”
Harta karun lain yang masih tersimpan di Lokananta adalah 5.000 master rekaman berisi lagu-lagu pop tempo dulu, keroncong, gending Jawa, dan wayang. Master rekaman berupa pita reel itu disimpan di lemari besi dalam ruangan khusus yang tak boleh dimasuki umum.
Saat ini, Bemby dan rekan-rekannya tengah melakukan remastering, yakni memindahkan isi rekaman dalam pita reel yang masih dalam bentuk analog ke dalam data digital di komputer. Menurut Bemby, data digital itulah yang kemudian diproduksi dalam format CD (cakram padat). “Setelah digandakan kemudian bisa dibeli oleh masyarakat,” ujar Bemby.
Sebenarnya, Lokananta juga memiliki studio rekaman dengan fasilitas yang cukup baik. Mesin-mesin perekamnya sudah menggunakan perangkat modern, meski bukan yang paling mutakhir dan canggih. Hanya, frekuensi penggunakan studio rekam ini tak terlalu sering. Kendala utamanya masalah permodalan.
Kini, nasib Lokananta memang tak seindah namanya, yakni gamelan khayangan yang bersuara merdu tanpa ditabuh. Untuk menghidupi 20 orang karyawan dengan gaji yang relatif rendah (gaji karyawan Lokananta berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 1,3 juta), pimpinan Lokananta, Pendi Haryadi, harus berakrobat dan membuat pelbagai siasat. Misalnya, Sebagian gedung di kompleks Lokananta yang sudah tidak berfungi, kemudian disewakan untuk lembaga lain seperti jasa asuransi. Bahkan ada yang kemudian dialih-fungsikan menjadi arena futsal. “Itu semua harus saya lakukan untuk menambah income,” katanya. “Kami harus bisa memperpanjang roda operasional perusahaan ini.”
Pendi mengakui Lokananta sebagai perusahaan rekaman tertua milik negara memang butuh dukungan pemerintah. Saat ini, Pendi giat mempertemukan Direksi PNRI dengan Walikota Solo, Joko Widodo. “Saya sudah mengirim surat ke direksi di Jakarta untuk bisa bertemu dengan walikota untuk membahas nasib Lokananta ke depan itu seperti apa,” ujarnya.
Pendi menambahkan, “Menurut saya, harus ada campur tangan pemerintah untuk menyelamatkan Lokananta. Kalau tidak ada support, Lokananta memang terancam gulung tikar.”
HERU C. NUGROHO