TEMPO Interaktif, Jakarta - “Aku ingin menjadi orang baik, tapi aku kurang percaya kepada diriku sendiri.” Kalimat itu diucapkan Sente kepada dirinya sendiri setelah menerima imbalan US$ 100 dari upah sewa kamar tiga dewa utusan langit. Sente mendadak kaya, punya toko, dan hidup berkecukupan. Begitulah balasan bagi orang baik yang tetap bertahan di kehidupan bumi yang kian jahat.
Alkisah, kehidupan di bumi makin mengerikan. Kelaparan merajalela dan kemiskinan menjadi sesuatu yang niscaya. Nah, saat itulah tiga dewa diutus untuk mencari setidaknya satu orang baik, agar bumi bisa tetap dipertahankan keberadaannya. Sente, gadis dengan paras lumayan cantik, mencoba menjadi orang baik di tengah lingkungan buruk. Lantas, mampukah Sente tetap menjadi orang baik di tengah segala keburukan yang mengepungnya?
Kisah Sente yang baik hati itu dipentaskan Kelompok Teater Universitas Indonesia (UI) di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu dan Ahad malam kemarin. Lakon berjudul Perempuan Pilihan Dewa arahan sutradara Alfian Siagian ini merupakan adaptasi dari naskah dramawan terkenal Bertolt Brecht, The Good Person of Szechwan. Dalam pentas produksi ke-19 Teater UI itu dihadirkan pemain muda berbakat, Martha Kostarin Simbolon, sebagai Sente.
Sente yang bersahabat dengan penjual air, Wang, membuka toko baru yang disewanya dari Nyonya Mitsu, seorang nyonya tamak. Belum lagi tokonya meraup untung, Sente malah ketiban nasib buntung. Seorang nyonya kaya raya jatuh miskin dan memelas meminta pertolongannya. Padahal, nyonya itulah yang dulu mengusir Sente yang masih miskin dan kelaparan.
Sente yang memang baik hati pun kemudian menolong sang nyonya. Tapi, kebaikan Sente malah dimanfaatkan. Ia juga dimintai tolong membayar utang pemilik toko sebelumnya kepada seorang tukang kayu, Asu. Pada saat yang hampir bersamaan, Sente, yang uangnya menipis, dikadali tetangganya yang meminjamkan uang US$ 200 dengan jaminan toko. Ditambah, Nyonya Mitsu meminta uang sewa toko untuk enam bulan pertama sebesar US$ 200.
Saat Sente bingung, saudara sepupunya, Suta, datang dengan bersandiwara, mengulurkan bantuan. Sente berlindung kepada sosok Suta yang gagah, pintar, dan berani, yang sebenarnya adalah khayal. Di tengah dunia yang penuh kepalsuan, Sente menemukan cinta baru. Rasa pesimistisnya kepada laki-laki karena ia pernah menjadi seorang pelacur pun sirna.
Begitulah, naskah karya Bertolt Brecht ini bukan yang pertama kali dimainkan. Di sejumlah negara, naskah ini banyak dimainkan kelompok teater, terutama teater kampus, seperti Teater UI. Cerita ini, misalnya, pernah dipentaskan oleh Teater Hartung, Universitas Idaho, Amerika Serikat, pada April lalu. Di bawah arahan sutradara David Lee-Painter, Teater Hartung menyuguhkan kemasan karakter Cina pada 1930-an dengan tokoh utama Shen Te. Setting-nya sebuah desa bernama Szechwan.
Secara umum, lakon drama ini dimainkan hampir secara seragam, meski memang banyak sutradara yang berusaha keras memoles segala artistik dan karakterisasinya. Tentu saja, dengan tujuan ingin tampil berbeda.
AGUSLIA HIDAYAH