Senjata serupa muncul juga di dua karya berikutnya, yaitu saat pasangan itu saling bertukar senjata dengan buket bunga mawar di dalam hutan, lalu ketika si lelaki berdiri sambil memegang senjata di belakang wanitanya yang memegang bunga dengan judul "I Cover You". Sesaat terlintas gambaran sebuah keluarga teroris. “Bukan, itu senapan serbu, bukan AK-47 yang biasa dipakai teroris,” kata Mohammad Irfan, di sela pameran tunggalnya di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung, Senin, 2 Mei 2011.
Senapan itu berjenis M4 RIS. Lelaki kelahiran Bukittinggi, 19 Oktober 1972, tersebut memakainya sebagai pengganti golok agar terkesan modern. Senjata tradisional itu sesuai tradisi di tanah leluhurnya, biasa diberikan seorang suami ke istrinya untuk alat bercocok tanam. Senjata itu juga melambangkan perlindungan.
Keluarga menjadi titik tolak penciptaan karya-karya terbaru seniman yang bermukim di Yogyakarta itu dalam pameran tunggal bertajuk "Pameranku" di Soemardja, 30 April hingga 27 Mei 2011. Bersama 11 lukisan yang berukuran jumbo dan bergaya realis dengan empat patung, pelukis ini menuangkan mimpi-mimpinya, tentang cita-cita, harapan, dan persoalan hidup keluarganya. Dia pun tak ragu menampilkan sosok diri, istri, dan kedua anak mereka sendiri sebagai tokoh utamanya.
Irfan kali ini menampilkan tema baru. Ia merasa harus kembali ke persoalan yang paling dekat yaitu keluarganya sendiri. “Ternyata dari situ banyak sekali muncul gagasan,” katanya. Salah satu yang diungkapkannya selama proses dua tahun itu, yakni tentang rasa takut, cemas, yang datang silih berganti saat dirinya sedang nyaman. Ketidakpastian itu ia tumpahkan ke karya berjudul "Land of Confussion" yang menjadi pembuka cerita.
Di tengah hutan lebat yang disapu warna hitam dan putih, ia dan Miming Amira, istrinya, duduk sebagai kekasih di atas pohon tumbang. Mereka dikelilingi seekor gajah Afrika, harimau yang sedang rebah bersantai, dan sepasang rusa bertanduk yang tetap siaga. Di belakangnya teronggok bangkai helikopter jenis Sikorsky H-34 Choctaw yang dipakai Amerika Serikat berperang di Vietnam. Irfan ingin mengatakan ketenangan atau kedamaian akan selalu terusik oleh ancaman kekacauan.
Helikopter di tengah hutan, kata kurator pameran Aminudin TH Siregar alias Ucok, merupakan pertentangan dalam diri Irfan soal kekerasan yang dilambangkan dengan logam dan kelembutan yang ditawarkan hutan. “Itu nggak enak buat dia,” katanya. Pemakaian simbol logam ini sama seperti seri karya Irfan sebelumnya tentang kereta api dan jalur rel serta jembatannya yang membelah hutan Sumatera.
Bedanya, sapuan kuasnya kini tak semuanya berwarna. Kenyataan dan harapan, sesuatu yang dianggap buruk dan baik, dipertentangkan Irfan dengan warna kontras. Hitam putih juga mendominasi sebagai latar atau masa lalu, sedangkan mimpi dan masa kini ditandai dengan aneka warna.
Simak karya berjudul "Perfect Heaven Space". Kelak di surga, seniman yang berpameran tunggal di Beijing, Cina, pada 2008 itu, ingin dihibur artis dan musisi favoritnya. Di sana, telah menanti personel lengkap The Beatles dengan seragam marching band, Madonna, Charlie Chaplin, juga Elvis Presley. Puluhan kupu-kupu dan aneka burung berwarna-warni yang terbang di atas kepala mereka ikut memeriahkan surga.
Irfan juga membalut narasi karyanya dengan sisi romantis. Pada lukisan berjudul "I Hear, I See, I Learn" misalnya, saat ia dan Miming berada di atas jembatan berlatar hutan yang suasananya seperti di Hutan Raya Dago Pakar-Maribaya, Bandung. Keduanya berdiri terpaku. Mereka dikepung empat hewan predator.
Buaya gemuk menganga dekat kaki mereka. Elang dan hiu besar siap menerkam dari atas. Sementara itu, seekor serigala mengintai dari balik pohon di belakang mereka. Di tengah ancaman itu, muncul selarik kalimat puitis berwarna putih tentang cinta sejati. Credit amori vera dicenti.
Adapun pada karya patungnya yang berbahan polyester dan resin, semuanya berwarna putih. Irfan memakai sosok dirinya sendiri sebagai figur orang sebatas dada. Pada karya berjudul "Honey, I am Home", kepalanya ditumbuhi batang-batang mawar yang berdiri tegak dan dihinggapi kupu-kupu kuning.
Situasi berlawanan ia munculkan pada karya berjudul "Patience is the Cure for All Suffer". Batang-batang pohon itu mulai merunduk dan diserbu sekelompok kepik merah. Namun, ekspresi kedua wajah itu tetap menyunggingkan senyum.
Karya lain berjudul "They Can Because They Think They Can" juga menarik. Sosok utuh seorang perempuan dengan wajah ingin tahu digandeng sepotong tangan dan sisa kaki kiri seorang lelaki masuk menembus dinding. “Nyatanya kita seringkali tidak tahu ruang seperti apa yang kita tuju,” kata Ucok.
Sebuah patung berwujud kerangka utuh dengan setangkai bunga mawar di rongga perutnya menjadi pesan tentang kefanaan. Irfan memberinya judul "Ubermensch", mengambil sebuah konsep filsafat Friedrich Nietzshe tentang kehidupan materialistis duniawi.
Menurut Ucok, karya-karya Irfan lebih mengajak ke wilayah perasaan atau kejiwaan daripada akal yang juga baru kali ini muncul orang dalam karyanya. “Dia meninggalkan seri karya lamanya, menariknya di situ. Fase transisi seorang seniman pasti ada keguncangan, ketegangan,” kata Direktur Galeri Soemardja itu.
Perubahan ini, kata Ucok, mengagetkan sebagian pengunjung dan kolektor yang menyangka karya Irfan masih tentang kereta api. “Kok, jadi kayak foto keluarga,” katanya mengutip celetuk seorang pengunjung.
ANWAR SISWADI