Lukisan bertajuk Modernisasi Tak Meninggalkan Tradisi itu menjadi salah satu karya yang dipamerkan dalam pameran “Indonesia Art Motoring: Motion and Reflection”. Sebuah pameran besar perdana yang menjadikan mobil sebagai “karya seni” teknologi dan industri ini digelar di Galeri Nasional, Jakarta, 25 April hingga 1 Mei mendatang. Tak kurang dari 85 seniman kontemporer Indonesia dan 45 mobil klasik koleksi terpilih Indonesia Classic Car Owners Club ikut memeriahkan pameran ini. Sesuai dengan temanya, otomotif menjadi sumber inspirasi para perupa dalam menciptakan karya-karya menarik dan unik.
Lihatlah karya Ichwan Noor. Seniman asal Yogyakarta itu mencoba memadukan komposisi Volkswagen dengan seri Beetle dalam kemasan “boks”. Walhasil, terciptalah Beetle Box, sebuah instalasi VW yang dipres berbentuk kotak yang akrobatik, berdiri dengan salah satu dari empat sudutnya. Lain lagi karya fotografi Indra Leonardi. Seniman asal Jakarta itu memilih berfantasi lewat medium aluminum sheet print. Melalui karyanya yang diberi judul Twilight Zone itu, Indra menghadirkan pemandangan blur mobil yang melesat kencang. Seniman lain, Bambang Toko Witjaksono, menghadirkan polemik mobil versus pacar dalam cerita komik pada kanvas besar. Banyak pria mengalami dilema lantaran dicemburui sang pacar gara-gara lebih mencintai mobilnya. Ide itu hadir dalam karya berjudul Aku Bukanlah Mobilmu yang Setiap Hari Harus Kuelus.
Menggandrungi teknologi kerap membuat manusia terkontaminasi oleh modernisasi. Hal ini terlihat pada karya Heri Dono. Di situ tergambar tiga sosok dalam “Oxymoronia” yang sudah tersusupi teknologi. Di dadanya terpendam seperangkat alat elektronik yang mampu membuat sayap capung mereka bergerak-gerak, walaupun sebenarnya ketiganya mengendarai sepeda motor.
Tak hanya Heri Dono dan Bambang Toko yang dikenali sebagai wajah lama seni Indonesia. Beberapa nama besar pun terlibat dalam pameran ini. Sebut saja Awan Simatupang, Hanafi, Nus Salomo, Tinton Satrio, Entang Wiharso, dan Nasirun.
Kurator pameran, Rizki A. Zaelani dan A. Rikrik Kusmara, tak sekadar mengajak pengunjung melakukan wisata visual dan memanjakan hobi otomotif. Mereka juga mengajak seniman, bahkan masyarakat, menempatkan makna sebuah pergerakan dan perpindahan sebagai manifestasi dari zaman. Perubahan teknologi menjadi salah satu pengukur begitu dinamisnya kehidupan manusia yang sesungguhnya. Esensi hijrah kini bisa sekejap berpindah hanya dengan tarikan gas mobil.
Keduanya pun menggiring pemahaman pada seni yang begitu kaya dengan bentuk, fungsi, imajinasi, kebutuhan, dan kehendak. Menurut keduanya, dalam berkesenian, manusia bisa membayangkan sejarah kemajuan spesiesnya. Bukan hanya berkutat pada wujud dan fisik kendaraan secara awam, tapi juga nilai kualitas dengan parameter abstrak, berkaitan dengan ragam relasi antara sebuah mobil dan lainnya.
Dan di pelataran Galeri Nasional itu, kita tak sekadar menyaksikan Chevrolet Impala SS buatan 1965 berkekuatan 6.700 cc yang begitu klasik dengan kelengkapan lambang bendera balap di sisi kiri dan kanannya serta bodi hijau metaliknya. Kita juga tak cuma terpesona oleh Chevrolet Bel Air 2 Door cokelat susu buatan 1958 yang begitu gagah ketika disandingkan dengan si mungil ceria Mini Moke kuning yang pada zamannya hanya diproduksi 50 ribu unit.
AGUSLIA HIDAYAH