TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Alkisah di Belanusa (Belantara Nusantara) hiduplah tiga anak manusia, si Bontel dan dua teman kecilnya, Acal (Aku Cinta Alam) dan Cinil (Cinta Lingkungan). Mereka berdampingan dengan Pak Bau-Bau (Kerbau), Pak Mau (Harimau), Pak Aya (Buaya), Pak Mbing (Kambing), dan hewan hutan yang lain. Pada suatu hari, Belanusa dilanda bencana. Penyakit demam berdarah mewabah di seluruh belantara. Bibi Angsa salah satu korbannya.
Di tengah kebingungan penghuni belantara, mendadak saja Pak Bau-Bau bertingkah aneh. Dia gemar mengumpulkan kaleng bekas yang berserak di depan-depan rumah hingga tempat sampah. “Sudahlah, jangan banyak tanya!” demikian jawabnya tiap kali ditanya.
Terang saja, seisi belantara penasaran. Apalagi Bau-Bau dikenal tertutup. Tak sekalipun rumahnya terbuka untuk tamu. Ujung-ujungnya, penghuni belantara curiga. Mereka sepakat mendobrak rumahnya. Brak! Pintu terbuka. Semua terhenyak. Kaleng bekas yang selama ini dikumpulkan Bau-Bau berubah fungsi, menjadi pot lengkap dengan tanamannya.
“Ternyata Bau-Bau membuat apotek hidup,” kata Bagong Subardjo, pengarang cerita Bontel pada Tempo, Minggu (24/4) siang. Dengan apotek hidup itu, lanjut seniman boneka asal Yogyakarta itu, akhirnya penghuni Belanusa sadar, pentingnya menyiapkan tanaman obat di pekarangan mereka.
Tokoh utama cerita itu adalah Si Bontel (Boneka Televisi). Baik Bontel dan kawan-kawannya berujud boneka. Dibuat sejak 1999, bahannya terbuat dari spons ati yang dibungkus kain. Sesuai namanya, Boneka Televisi, Bontel dibuat untuk ditayangkan di televisi. Telah disiapkan 26 episode dengan tema-tema utama tentang lingkungan, satu episode sample telah rampung dibuat Bagong.
Karakter Bontel, dkk dipamerkan selama 9 hari, dari 16-25 April 2011, dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta. Bersama Mochammad Fajar, seniman boneka kelahiran Madiun Jawa Timur, 25 tahun lalu, Bagong menggelar pameran boneka bersama dengan tema "Boneka Jogja Istimewa".
Selain Bontel, turut juga dipamerkan karakter boneka buatan Bagong yang lain. Di antaranya Kakaoski (boneka kaos kaki) yang dibuat pada 1987, Boned (boneka edutainment) yang mulai dikerjakan pada 2001, Boneka Rohani yang pada dibuat 2005-2006, Bonki (boneka kita) yang dibuat 2003 dan difilmkan pada 2007, hingga boneka Kapten Leeboy yang dibuat untuk memenuhi pesanan sebuah produk komersial pada 2007.
Menurut Bagong, meski dibuat lengkap dengan skenario ceritanya dan bahkan difilmkan, namun hanya boneka rohani yang berlanjut hingga disiarkan di stasiun televisi. Yang lainnya? “Tiap ditawarkan (ke stasiun televisi) selalu terpental,” kata Bagong.
Bagi Bagong, sejak awal, membuat boneka dan mementaskannya bukan sekadar mencari keuntungan finansial belaka. Impian terbesarnya adalah menjadikan boneka sebagai media pendidikan, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. “Sejak tahun 1979 (awal menekuni dunia boneka), saya sudah niat,” kata dia.
Gagal bermain di layar kaca, Bagong mementaskannya di panggung di Yogyakarta dan luar daerah, Surabaya dan Jakarta di antaranya. Dalam pementasan, dia juga menggelar workshop untuk anak-anak mengenai cara membuat boneka dan skenario ceritanya.
Bahan-bahan boneka Bagong kebanyakan berasal dari bahan-bahan yang mudah ditemui. Bahkan tak jarang menggunakan barang bekas. Kaos kaki tak terpakai, kertas koran, hingga kain sisa. Seperti kebanyakan cerita yang diangkat dalam pementasan, Bagong mengaku memang sejak awal ingin menerapkan boneka yang ramah lingkungan.
Boneka memang tak selamanya harus mewah. Menurut Fajar, ada dua nilai yang terkandung dalam sebuah boneka. Puppet yang bisa dimainkan dalam pementasan dan dool yang hanya mainan atau pajangan belaka. Jika karya Bagong lebih banyak menampilkan boneka pementasan, maka boneka karya Fajar lebih pada instalasi pajangan. Tapi, lanjut dia, baik puppet maupun dool lebih dari sekadar ekspresi dari seniman pembuatnya. “Ada misi yang menyertainya,” kata dia.
Melalui karyanya, Fajar menyampaikan misi itu. Lihat saja Virtual World buatannya. Terdiri dari sepuluh panel, karya intalasi itu merupakan sindiran terhadap realitas kehidupan manusia. Masing-masing panel, yang berupa boneka yang tersimpan dari kaleng bekas krupuk, merupakan perlambang bahwa pembatasan interaksi sosial manusia modern.
Cukup diam di rumah, mereka bisa berkomunikasi dengan yang lain. Lewat telepon, faks, dan internet misalnya. Bahkan, sambung dia, dengan mengandalkan dunia maya, manusia kini mampu mengunjungi kehidupan dengan jarak terjauh sekalipun dari tempat tinggalnya. “Berselancar di internet ke mana-mana,” kata dia.
Boneka, bagi mereka berdua adalah media penyambung lidah yang efektif. Lidah budaya, pendidikan hingga kritik. Namun sayang, dari sekian banyak boneka yang diproduksi di negeri ini, hanya sedikit saja yang dipersiapkan menjadi media pendidikan dan budaya. “Orang kita sekarang lebih tertarik Ipin Upin,” kata Bagong.
ANANG ZAKARIA