Malam itu Dylan – yang pada 24 Mei nanti akan berusia 70 – mendapat giliran tampil ketiga setelah
penampilan dari Raw Earth dan Toots and the Maytals. Sebelum tampil di Singapura, Dylan baru saja menyelesaikan konser perdananya yang bersejarah di Shanghai, Cina(08/04) dan Ho Chi Minh City, Vietnam (10/04). Tahun sebelumnya, otoritas di negeri Cina yang berhaluan komunis melarang diadakannya konser Dylan karena lagu-lagunya banyak yang bernada protes sosial, politik, dan kemanusiaan.
Dalam konsernya di Singapura, ribuan penggemar Dylan datang dari generasi tua (yang menyukai Dylan pada awal kemunculannya di dunia musik) dan generasi muda (yang terinspirasi dengan lirik-lirik yang diciptakan oleh Dylan). Mereka berkumpul malam itu untuk menyaksikan penampilan dari raja folk music tersebut.
Tampil dengan jas hitam, topi koboi, dan celana bergaris putih, Dylan memberikan suguhan yang sangat menarik bagi para penggemarnya. Ia mencampur beberapa lagu andalannya dari tahun-tahun awal kemunculannya, di antaranya A Hard Rain A-gonna Fall, It Ain’t me, Babe, Highway 61 Revsited, dan Ballad of the thin Man, dengan lagu-lagu yang diciptakannya pada 2000-an, seperti Tweedle Dee and Tweedle Dum serta Thunder on the Mountain.
Dibuka dengan lagu Gonna Change My Way of thinkin dari album Slow Train Coming (1978), Dylan – sebagaimana dikenal ketika tampil di setiap konsernya – menyuguhkan aransemen yang benar-benar berbeda dengan apa yang biasa didengar di albumnya. Tapi hal itu tidak menghalangi para penggemarnya untuk bernyanyi bersama meskipun seringkali tertipu dengan nada-nada yang tak pernah disangka-sangka oleh mereka.
Bisa dikatakan, hanya nomor Simple Twist of Fate, Tangle Up in Blue, dan lagu legendaris Like A Rolling Stone yang dapat langsung dikenali oleh para penonton. Ini merupakan salah satu wujud dari jiwa eksperimental Dylan yang tak pernah berhenti mengeksplorasi musiknya hingga saat ini. Sama seperti ketika ia pertama kali mengganti gitar akustiknya, yang merupakan ciri khas musisi folk, dengan gitar listrik pada 1965. Hal itu sempat membuat marah penggemarnya, namun menjadi tonggak kebangkitan musik folk Amerika dimana musisi lainnya segera mengikutinya.
Penampilan Dylan malam itu, yang merupakan rangkaian “Never Ending Tour” (pad aakhir 2010 Dylan sudah melakukan lebih dari 2.300 konser sejak 1988), ditutup dengan lagu Forever Young sambil memperkenalkan para musisi dalam grupnya. Para penonton ikut bernyanyi, sebagian ada yang menangis.
Dylan mengucapkan terimakasih atas antusiasme para penonton malam itu.
SETO WARDHANA (SINGAPURA)