TEMPO Interaktif, Surabaya - Anggota Komisi IX DPR Bidang Tenaga Kerja dan Kesehatan, Rieke Dyah Pitaloka, Rabu (20/4), mengatakan pemerintah saat ini dengan sengaja mempersulit pembahasan Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pernyataan Rieke ini disampaikan ketika menghadiri mimbar bebas "Jalankan Sistem Jaminan Sosial dan Sahkan RUU BPJS" di Taman Apsari Surabaya siang tadi. "Sepanjang sejarah pembahasan undang-undang, baru undang-undang inilah pemerintah perintahkan delapan menteri sekaligus untuk ikut pembahasan," kata Rieke yang politisi PDI-P ini.
Delapan menteri yang dimaksud adalah Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, Menteri BUMN, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Menteri PPN/Kepala Bappenas.
"Banyak menteri dan tidak fokus, pemerintah mintanya undang-undang ini hanya sebagai penetapan. Padahal UU ini harusnya berisi aturan. Inilah bentuk ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyat," kata Rieke.
Padahal, jika undang-undang ini jadi disahkan, setidaknya orang di Indonesia tidak peduli miskin atau kaya akan mendapatkan lima jaminan, yaitu jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian.
Hanya saja, aneka jaminan yang telah diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional ini tidak bisa berjalan karena badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ditunjuk, yaitu Jamsostek, Askes, Asabri, dan Taspen hingga saat ini masih berbentuk BUMN.
Nah, UU BPJS yang saat ini dibahas muaranya sebenarnya untuk mengubah Jamsostek, Askes, Asabri, dan Taspen dari BUMN menjadi semacam badan nirlaba.
Di tempat yang sama, Koordinator Komite Aksi Jaminan Sosial Nasional (KAJSN), Moch Rusdi, menilai negara saat ini menuju pada negara gagal. Ini bisa dibuktikan dengan tidak adanya jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
"Ada tiga parameter yang tidak bisa dipenuhi pemerintah, yaitu banyak masyarakat tak punya pekerjaan, tak punya pendapatan, dan terakhir tak punya jaminan sosial," kata Rusdi. Oleh karena itu, masyarakat harus bersatu untuk mendesak segera diundangkannya RUU BPJS ini.
Pemerintah sendiri saat ini baru mampu sediakan jaminan untuk pekerja sektor formal. Itu pun sangat terbatas, TNI/Polri, misalnya, dapat jaminan kesehatan hanya jika berobat di rumah sakit milik TNI/Polri. Padahal, jumlah rumah sakit TNI/Polri sangat terbatas. Begitu juga buruh yang terdaftar di Jamsostek juga hanya bisa mendapatkan jaminan pada penyakit tertentu saja.
PNS sendiri dapat jaminan juga tergantung eselon atau golongannya. "Hanya eselon yang tinggi yang gratis semuanya, untuk yang rendahan tidak bisa. La.. apakah sakit itu mengenal eselon," imbuhnya.
Oleh karena itu, untuk membantu desakan ini KAJSN berencana akan menggelar aksi secara serentak pada May Day 1 Mei mendatang dengan satu isu, yaitu desakan penetapan RUU BPJS.
Jika dalam aksi May Day nanti pemerintah tidak mengabulkan desakan buruh untuk mengegolkan RUU BPJS, Rieke minta buruh menggelar mogok nasional. "Ini hak buruh, kalau setelah aksi nanti pemerintah tetap bandel, sebaiknya kita gelar mogok nasional," kata Rieke mengakhiri diskusinya.
FATKHURROHMAN TAUFIQ