TEMPO Interaktif, Yogyakarta -Lampu di pendopo Ndalem Pujokusuman Yogyakarta, Jumat (15/4) malam kemarin tampak temaram. Seorang bocah bertelanjang dada masuk ke dalam pendopo. Namanya Caesar Jamal Tistama. Bocah sepuluh tahun berbadan subur itu menari-nari mengikuti irama gendang. Telunjuknya menunjuk-nunjuk. Sambil memanggut-manggutkan kepala, bocah berbobot 44 kilogram itu melompat-lompat. Tak ayal, perut gembul murid kelas lima sekolah dasar , putra pertama Sudarmo Sumekto itu ikut bergoyang-goyang jenaka. Naik turun, hingga memancing gelak tawa puluhan pasang mata yang menyaksikan.
Beksan Paka-Cucu, demikian nama tarian yang dimainkan Jamal menjadi pembuka refleksi tari klasik gaya Yogyakarta untuk mengenang 1000 hari wafatnya KRT. Pangarsobroto, kakek Jamal. Tarian dengan gerakan mirip cara berjalan Semar -tokoh punakawan- itu sengaja dicipta Sudarmo Sumekto untuk menghormati ayahandanya, KRT Pangarsobroto. “Agar generasi muda mau melestarikan budaya Jawa,” kata Jamal usai pementasan.
Selain Beksan Paka Cucu, ada dua tarian lain yang dipentaskan di Ndalem yang terletak di Jalan Brigjen Katamso Yogyakarta. Tari Klana Topeng yang dibawakan sendiri oleh Sudarmo Sumekto dan Beksa Paba (yang bermaka Pangarsobroto) yang dimainkan sembilan orang lelaki penari laki-laki.
Berbeda dengan Beksan Paka-Cucu yang berlangsung sekitar lima menit, tari Klana Topeng berlangsung lebih lama, sekitar 15 menit. Tari ini bercerita tentang pangeran Kelana (Kelono) yang tengah tergila-gila pada Dewi Sekartaji. Dulu, semasa almarhum Pangarsobroto -yang dikenal juga sebagai sosok penari jawa tradisional- masih hidup, Sudarmo kerap diminta memainkan tarian itu, baik dalam pementasan di Yogyakarta hingga ke luar negeri.
Dibanding dengan Beksan Paka-Cucu yang diciptkan Sudarmo, gerakan Klana Topeng lebih gemulai. “Bapak senang sekali dengan tari ini,” kata Sudarmo yang dikenal juga dengan nama Icuk Ismunandar usai pementasan.
Puncak dari acara 1000 hari bertema Untukmu Penghiasku itu, Sudarmo mementaskan tari Beksan Paba. Dimainkan oleh sembilan orang, yakni Widaru Krefianto, Sagitama Krisnandaru, Suwantoro, Lantip Kuswaladaya, Adityanto Aji, Yestriyono Piliyanto, Anggoro Budiman, Dwi Purwanto dan Hermawan Sinung Nugroho, tarian ini dibuat Sudarmo sejak tiga bulan lalu. Ide gerakannya berasal dari tari Bedhaya gaya Yogyakarta.
Meski demikian, kata Sudarmo, gerakannya sudah dirombak. Misalnya, saat penari memasuki ruang pementasan. Dengan iringan drum dan suling, mirip musikalitas pasukan keraton, para penari berjalan berkacak pinggang, petantang-petenteng. “Belum banyak Bedhaya yang gagah,” kata dia menjelaskan.
Selain itu, dalam tari Bedhaya Yogyakarta, semua gerakannya penuh dengan makna simbolisasi. Sementara dalam Beksan Paba, Sudarmo justru membuat kebalikan dari gerakan-gerakan itu itu. Dia lebih banyak menampilkan gerakan yang realistik. Dari gerakan yang diciptakan itulah justru tampak tarian yang lebih berani dan jujur.
Di tengah adegan tari misalnya, sembilan penari telah kecapekan. Maklum, waktu satu jam telah cukup menguras habis tenaga mereka. Ngombe! (artinya mimum). Teriak para penari kompak bersamaan. Senampan air dalam botol-botol minuman mineral segera terhidang. Adegan tari terhenti dan mereka duduk bersama untuk menikmati minuman.
Beksan Paba memang tak kaku. Baik dalam gerak maupun cerita. Selain adegan minum bersama para penari yang memancing gelak tawa penonton, terdapat juga adegan dimana dua penari memainkan jamuran. Bedanya, syair yang dinyanyikan dalam dolanan anak yang biasa didialogkan dua anak itu telah dimodifikasi. Isinya lebih pada cerita kondisi masa kini.
Jamuran yo
Jamur opo
Jamur gajih mbejijih
Jamur opo
Jamur ulat bulu
Ya, ulat bulu memang jadi trend saat ini.
ANANG ZAKARIA