Naskah serupa pernah dipentaskan oleh sanggar yang sama pada 1978 lalu. "Garapan kali ini berbeda. Lebih detail dan dinamis," ujar Retno Maruti pencipta gelaran tari ini saat jumpa pers di Jakarta, Kamis sore tadi.
Perbedaan yang paling kentara adalah formasi pemain. Karya yang pernah menerima penghargaan sebagai naskah tari terbaik ini pertama kali dimainkan dalam formasi kecil yaitu 9 penari yang kesemuanya wanita. Dalam garapan kali ini terdapat 18 penari yang terdiri dari penari laki-laki dan perempuan. Mereka memerankan perannya masing-masing.
Selain itu dramaturgi digarap lebih detail. Penari laki-laki nantinya akan memakai gaya Yogyakarta. Sedangkan penari perempuan menggunakan gaya Surakarta. Dua kekuatan gaya ini disatukan untuk menuturkan kisah Savitri. Keduanya bisa menyatu dan saling melengkapi.
Penyatuan dua gaya yang berbeda ini pernah dilakukan Maruti dalam karyanya berjudul Calon Arang tahun lalu. Tarian ini menggabungkan tari legong Bali bersama Bulan Tisna Jelantik dan tari Bedhoyo.
Tari langendriyan ini berkisah tentang kesetiaan dan kekuatan cinta istri kepada suaminya, Satyawan. Tetapi bisa ditafsirkan dengan perspektif masa kini bahwa kesetiaan adalah nilai penting untuk tetap dipegang. Karena disitulah sebenarnya nilai kita sebagai manusia.
Savitri adalah putri Raja Asvapati yang diperkenankan mencari jodoh bagi dirinya. Savitri memilih Satyawan, anak raja Dyumatsena yang buta dan tinggal di hutan karena kerajaannya ditaklukkan oleh musuh.
Pilihan Savitri membuat ayahnya berduka. Karena menurut para resi, usia Satyawan hanya bersisa satu tahun. Savitri kukuh pada pendiriannya dan memilih tinggal bersama suaminya di hutan.
Ketika Dewa Yamadipati mencabut nyawa suaminya, Savitri dengan ketulusan dan tekad yang kuat mengikuti kemanapun arwah Satyawan dibawa pergi. Akhirnya, Dewa menyerahkan kembali arwah suaminya. Mereka telah menguji kesetiaan Savitri.
ISMI WAHID