“Saat tsunami terjadi, saya tidak bisa apa-apa. Saya hanya melihat kengerian itu di layar kaca. Dan beberapa hari lalu seorang sahabat menelpon saya dan mengajak untuk ikut acara ini. Saya pun tak bisa menolak apa-apa,” cerita Watanabe sebelum konser. Ia tertegun sejenak, matanya berkaca-kaca dan bibirnya gemetar. Sebuah pelukan pun mendarat dari sang sahabat tadi.
Perhelatan tersebut memang bukan milik Watanabe seorang. Ada rentetan kolaborasi seni Indonesia-Jepang yang disuguhkan. Tari Saman Aceh misalnya, dipadukan dengan atraksi bedug Jepang. Sejumlah artis Indonesia juga ikut meramaikan acara, di antaranya Ruth Sahanaya yang membawakan lagu Usah Kau Lara Sendiri , Titi DJ dengan lagu Di timur Matahari yang diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan, serta Nina Tamam yang tampil fasih membawakan Kokoronotomo dan tarian Mikochi.
Watanabe tak tampil sendiri. Ia memadukan suara manis saxofonnya dengan vokal merdu Uthe, sapaan akrab Ruth Sahanaya. Formasi kolaborasi ini makin terasa pembaurannya dengan kehadiran Dwiki Dharmawan yang mengisi posisi piano. Watanabe juga mengajak Dira Suggandi, penyanyi jazz muda berbakat, untuk berduet bersama.
Share The World yang menjadi salah satu hasil karya Watanabe dibawakan dalam dua versi. Bersama paduan suara cilik Elfa Music School Brawijaya, nomor tersebut dibawakan dengan syahdu. Namun setelah dua nomor lainnya, yakni Kaze No Yukue dan Kuroi Hitomi selesai, nomor tersebut kembali dibawakan dengan meriah bersama gebukan bedug. Watanabe mengangkat tangannya dan mengajak anak-anak berjoget.
Watanabe adalah musisi jazz yang disegani dan dihormati di Jepang. Usia yang kian lanjut, yakni 74 tahun, membuat staminanya tak mengendur di atas pentas. Rahasianya hanya satu, ia menjawab dengan enteng, “I love music very much”.
Permainan alto sexofonnya memiliki banyak warna. Ia pernah menghasilkan rekaman dengan genre musik bebop yang mendapat acungan jempol dari kritikus jazz. Musik pop Brazil juga mempengaruhi banyak komposisi yang dia ciptakan dan mainkan. Tak cukup itu, Watanabe pun menjajal pemain dari afrika untuk memperkaya musiknya. Ia sendiri mengaku permainan alto saxsofonnya banyak di pengaruhi oleh Grover Washington Jr.
Sadao Watanabe, sebagai peletak kontruksi musik jazz di Jepang, kerap disambangi penghargaan atas hasil kerjanya di dunia musik, dan kerjasama kebudayaan antar bangsa. Tahun 1995, ia mendapatkan tiga penghargaan prestisius, Cultural Honors Award Of Tokyo, dari permerintah Jepang dan Imperial Purple Ribbon Medal dari Kekaisaran Jepang, serta dianugrahi Honorary Decorate Degree dari Barklee College Of Music. Peringatan 50 tahun berkarya di dunia musik, diperingatinya dengan tour di Jepang dan Los Angeles pada tahun 2001. Lantas, selama dua tahun berikutnya Sadao mendapatkan penghargaan lagi yaitu The 1st Cultural Honors Award Of Tochigi Prefecture (2002) dan MontBlanc International Culture Prize (2003).
Diusianya yang semakin lanjut, Watanabe banyak mendedikasikan hidupnya dengan menggunakan musik untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian. Seperti Sadao Watanabe Earth Sound pada Agustus 2005 yang menampilkan group perkusi dan paduan suara anak-anak yang berasal dari lima benua. Pada tahun yang sama, Sadao Watanabe kembali mendapat penghargaan The Order Of Rising Sun yang diberikan kepadanya dengan upacara khusus.
Aguslia Hidayah