TEMPO Interaktif, Jakarta - Sosok perempuan berambut pirang dan bermata biru itu tampak gagah sekali. Dia terlihat begitu perkasa dan luar biasa. Dia membasmi robot-robot jahat yang mengancam kehidupan.
Itulah sosok perempuan dalam komik Nadya and The Painkillers karya Ario Anindito. Nadya merupakan salah satu tokoh perempuan dalam pameran komik bertajuk “Bara Betina”, yang digelar di Galeri Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, hingga 30 April mendatang.
Pameran yang digagas dalam program dwibulan perempuan itu menghadirkan perempuan sebagai pokok bahasan dalam proses kreatif penciptaan komik. Meski populer, kebanyakan komik yang ada bersifat maskulin, di mana tokoh perempuan biasanya hadir sebagai pendamping, yang keberadaannya tak terlalu signifikan. Kalaupun ada komik yang mengangkat tokoh utama perempuan, umumnya terbatas pada genre percintaan untuk pembaca perempuan.
Selain karya Ario, pameran itu menyuguhkan karya-karya komikus Alfi Zachkyelle, Ariela Kristantina, Azisa Noor, Beng Rahadian, Ekyu Studio, Is Yuniarto, dan Kharisma Jati. Sebagian besar karya tersebut menampilkan perempuan sebagai tokoh utama.
Simak karya Alfi Zachkyelle bertajuk Vienemorfosis. Dalam karya itu, Alfi menciptakan pertumbuhan gadis bernama Vienetta dari usia 9 tahun, beranjak 14, 19, 25, hingga 32 tahun. Garis gambar dan perawakan sosok Vienetta ciptaan Alfi itu cenderung bergaya manga—komik khas Jepang.
Yang juga menarik adalah karya Beng Rahadian. Beng seperti punya gaya sendiri untuk menampilkan sosok perempuan dalam karyanya, seperti karya berjudul The Moment, yang diambil dari cerita “Selamat Pagi Urbaz”.
Baca Juga:
Lalu karya Beng lainnya yang menarik adalah trilogi kopi: Kopi Lanang, Kopi Benci, dan Kopi Gombal. Ketiga kopi itu punya keterkaitan dengan perempuan. Kopi Lanang melarang perempuan minum kopi hitam. Kopi Benci, kopi yang menjadi enak karena ada ludah ibu dalam cangkirnya, sementara suaminya main catur melulu. Adapun Kopi Gombal adalah kopi yang tumpah di kepala pria pada kencan pertamanya karena menggombal.
Begitulah. Dalam sebuah diskusi yang digelar dalam rangkaian pameran tersebut, Gupta Mahendra mencoba melihat perkembangan komik Indonesia belakangan ini. Menurut penyunting utama di Koloni, divisi komik dalam penerbitan M&C, perkembangan komik di Indonesia makin tinggi secara kuantitas. Namun memang belum banyak yang berhasil secara komersial. “Sebuah karya komik bisa berhasil di pasaran tidak melulu berpatok para karyanya, tapi juga pada jalur publikasinya,” kata Gupta.
Anggapan bahwa komik saat ini tak secemerlang komik “jadul” karena nilai kelokalannya berkurang tidak seluruhnya benar. Boleh dibilang pembaca komik justru tengah menjauh dari kelokalan itu. “Anak baru gede” lebih menggandrungi Naruto atau produk Marvel, dan mungkin uang jajan mereka sudah tak tersisa untuk membeli serial komik Garudayana karya Is Yuniarto.
Komik Indonesia pernah berjaya pada 1960-1970-an. Tentunya saat itu persaingan ketat dan proses asimilasi tidak sedahsyat kini. Jaringan Internet pun belum mampu menjembatani pertukaran kultur secara global, meski sebenarnya karya komikus Indonesia kerap disandingkan dengan embel kata ”mirip” komik Jepang, Eropa, atau Amerika. Seperti Daud Versus Goliath, tapi sebenarnya hal serupa terjadi di belahan bumi mana pun.
AGUSLIA HIDAYAH