Itulah sepenggal kisah yang tertangkap dari selembar foto karya Julian Sihombing, pewarta foto senior. Bersama 74 foto karyanya lain, foto itu dipamerkan dalam sebuah pameran foto bertajuk “Split Second, Split Moment” di Bentara Budaya Yogyakarta, sepanjang 5-13 April 2011.
Lazimnya foto jurnalistik yang terpampang di surat kabar, Julian menuliskan caption foto Soeharto itu dalam bahasa Inggris. “Surakarta, April 1996. The president wipes away tears as he mournfully attends the wake of his beloved wifes. First lady Tien Soeharto in Ndalem Kalitan, Surakarta”.
Julian satu-satunya fotografer yang berhasil mengabadikan peristiwa itu, Soeharto menangis. Ceritanya, dia ditugaskan untuk meliput peristiwa pemakaman Tien Soeharto, istri Presiden Soeharto, itu di Surakarta, Jawa Tengah. Tak paham seluk beluk Ndalem Kalitan, dia menerobos begitu saja melewati protokoler kepresidenan. Beruntung, dia sampai di tempat jenazah disemayamkan. Instingnya sebagai pewarta langsung bergerak. Begitu melihat Soeharto menangis, langsung dia jepretkan kamera yang dibawanya. “Padahal, semua kamera orang-orang di sana diturunkan semua,” katanya mengenang.
Sempat diperiksa petugas pengamanan presiden karena ulah itu, akhirnya Julian dilepaskan. Beruntung negatif film di kameranya tak dirampas. Itupun setelah dia setengah mati minta maaf dan berjanji tak menayangkan foto itu di media tempatnya bekerja. Kini setelah 25 tahun berlalu. Soeharto telah lengser. Dan, tak ada lagi sensor seketat dulu, foto itu bisa dihadirkan di depan publik meski melalui ruang pamer.
Menurut dia, memang banyak di antara foto yang tak terpublikasikan. Sensor yang ketat serta etis dan tidaknya tentu menjadi salah satu alasannya. Selain foto bergambar Soeharto menangis, fotonya yang lain yang tak pernah termuat adalah bingkai foto bergambar Soeharto terjatuh di sela reruntuhan bangunan rumah. Foto itu didapatnya saat bencana gunung Kelud, Blitar, Jawa Timur, meletus, pada Februari 1990. “Kalau orang melihatnya, mungkin akan muncul banyak penafsiran,” ujarnya mereka-reka. “Bisa jadi perlambang Soeharto jatuh”.
Semua karya foto yang dipamerkan, dibuat Julian sepanjang 1988-2010. Obyek dan lokasinya beragam, dari anjing terlanggar sepeda motor di Pontianak, Kalimantan Barat, pada Februari 1988, kecelakaan delman di Madiun, Jawa Timur, pada Juli 1989, penumpukan penumpang kereta di Jakarta pada Agustus 1999, hingga foto tentang Soeharto menangis itu.
Julian memilih sendiri foto-foto yang akan dia pamerkan. Setidaknya butuh waktu setahun untuk memilih dan memilah foto yang paling layak dipamerkan di hadapan publik. “Ada ribuan foto yang harus diseleksi,” katanya. Dan itu dia lakukan sendiri. Tentu sebuah pekerjaan berat mengingat tak semua foto berupa file komputer, tapi banyak juga negatif film.
Dia mengaku bermain di sela waktu yang sempit dalam menghasilkan foto-foto itu. Sebuah peristiwa tak datang dua kali. Kecepatan dan ketepatan menjadi kuncinya. Ketrampilan itu terasah seiring dengan pengalaman di lapangan menjadi fotografer.
Misalnya, foto seekor anjing yang terlanggar sepeda motor. Peristiwa itu memang secara kebetulan terjadi di depan mata. Namun sekali lagi, dia mengatakan, jika tak siap, seorang fotografer dapat saja kehilangan momen tanpa sempat mengabadikan dalam jepretan kamera. Di sinilah letak kepiawaian Julian. Dia mampu merekam tiap detik peristiwa yang terjadi. Di atas lima lembar fotonya, dia tampilkan tiap babak kecelakan itu terjadi.
Sebagai fotografer di awal 1980an, Julian punya idealisme tentang foto jurnalistik. Mencari sudut yang berbeda dibanding fotografer lain. Saat itu, foto-foto di halaman koran lebih didomonasi foto seremonial. “Kalau di olah raga, ya sudah, fotografernya menunggu di garis start atau finish saja.”
Niat kuat mendobrak tradisi foto semacam itu pun berbuah. Melalui jepretan kameranya, Julian dapat mengabadikan pembalap Australia Ricky Rice terjatuh dari motornya dalam “adu cepat” di sirkuit Sentul, Bogor, Jawa Barat, pada Desember 1992. Gambarnya begitu tajam dan detail. Tubuh Ricky, dengan helm masih melekat di kepala, jatuh terlentang di atas aspal. Motornya terlepas ke tepian sirkuit hingga menghamburkan kerikil dan tanah.
Menurut Julian, seorang fotografer memang harus berani mengambil sudut berbeda untuk mengambil gambar. Lihat saja, foto bergambar deretan ratusan orang yang duduk di atas kereta api jurusan Jakarta-Rangkasbitung yang diambilnya pada Agustus 1991.
Kala itu, ada penumpukan penumpang kereta. Kebanyakan foto diambil dari bawah. “Dan saya harus mencari angle yang berebeda,” ujarnya. Sementara kereta terus melaju hingga Rangkasbitung, Julian pun ikut naik ke atas gerbong.
Sebetulnya, pameran ini bukan yang pertama digelar Julian. Sebelumnya, dengan tema yang sama – “Split Second Split Moment” – pameran juga digelar di Bentara Budaya Bali pada 3-11 Juli 2010. Di Yogyakarta sendiri, pameran semula digelar pada Januari awal tahun lalu. Namun tertunda akibat bencana gunung Merapi.
Romo Sindhunata, yang membuka pameran Julian di Bentara Budaya Yogyakarta, menilai, Julian tangkas mengabadikan peristiwa. Banyak potongan peristiwa besar yang kerap terjadi di sekitar kita, namun tak semuanya kita sadari. Apalagi untuk mengabadikan dalam jepretan kamera. “Dalam hitungan detik, dengan intelegensia dan kecerdiakan, Julian mampu menangkap itu,” katanya.
Selain itu, Romo Sindhunata menambahkan, ada nilai artistik dalam foto karya Julian. Bahkan dalam sebuah peristiwa non-seni sekalipun, semisal peristiwa politik, keindahan itu tetap saja muncul. Dan itu yang membuat karya Julian layak dipamerkan.
ANANG ZAKARIA