Begitulah komposisi berjudul Gunungan yang disuguhkan musisi Dwiki Dharmawan. Komposisi yang kental dengan warna Bali itu merupakan karya teranyar Dwiki yang digarap bersama Nyoman Windha. "Saya banyak belajar dari sahabat saya di Bali, I Nyoman Windha," ujar Dwiki.
Gunungan merupakan satu di antara 10 komposisi yang dibawakan Dwiki dalam konsernya di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis malam lalu. Kursi-kursi yang tersedia dipenuhi para penonton. Tepuk tangan selalu terdengar riuh setelah repertoar dimainkan.
Malam itu, sebagian besar komposisi yang disuguhkan dalam pertunjukan diambil dari album Dwiki Dharmawan World Peace Orchestra. Nomor-nomor dalam pertunjukan ini akan ditampilkan di perhelatan besar di Belanda, Swiss, Italia, dan Australia pada Juli nanti. Yang menarik, lagu-lagu tersebut dimainkan dengan cara dan format yang berbeda. Lebih jazzy dan berani menjajaki nada.
Inilah pertunjukan pertama Dwiki dengan instrumen string tanpa melibatkan perkusi. Kali ini ia tak mengusung seabrek personel orkestra, tapi memilih berkolaborasi dengan Jogya String Quartet dan pemain bas Donny Sunjoyo. Boleh dibilang malam itu Teater Salihara benar-benar menjadi ruang pertunjukan akustik.
Simak saat lagu Arafura dimainkan. Bila dibandingkan dengan performa lagu itu dalam album Dwiki Dharmawan World Peace Orchestra, penampilan Dwiki dan kawan-kawan terasa lebih dinamis. Lagu dibuka dengan eksplorasi warna bunyi yang tak lazim oleh tiap-tiap instrumen. Dwiki, yang memegang piano, mulanya membuat suara amat gaduh dengan memainkan nada ambitus rendah dengan ritme perkusif. Lalu ia berdiri tak lagi memegang tuts, tangannya meraih dawai senar piano. Kemudian suara "gemeresak" muncul yang ditimbulkan dari kertas-kertas partitur. Dwiki mengobrak-abrik, lalu menghamburkan kertas-kertas itu ke udara.
Yang tak kalah menarik adalah eksplorasi instrumen string yang dimainkan Jogya String Quartet. Eko Balung dan Fafan Isfandiar dengan violin mereka membuat suara mirip burung cangak. Gesekan bow pada nada tinggi dengan teknik tertentu berhasil mendekati suara burung itu. Begitu juga Adi Nugroho (viola) dan Dimawan Kresno Adji (cello) membikin suara lain dengan ambitus nada lebih rendah. Keduanya seperti menghadirkan suasana tepi pantai di ruang teater yang tak terlalu besar itu.
Menurut Dwiki, dengan format yang lebih ringkas begini, itu lebih memberi detail permainan tiap-tiap instrumen. "Kesempatan mengeksplorasi nada lebih lebar. Saya suka permainan seperti ini, lebih puas," ujarnya seusai pentas. Betul saja, Dwiki membiarkan kawan-kawannya memanfaatkan ruang pause itu untuk unjuk nada meski hanya sekejap.
Bagi Dwiki, musik tradisional Indonesia tak akan pernah habis dieksplorasi. Lagu rakyat menjadi inspirasi baginya untuk mencipta karya-karya. Semangatnya terhadap lagu rakyat juga dituangkan dalam beberapa lagu. Misalnya Cik-cik Periuk yang disambung dengan Paris Barantai. Lagu rakyat dari Kalimantan ini mulanya dimainkan dengan ritme keroncong. String secara bergantian berperan menjadi instrumen cak dan cuk. Tak lagi digesek, melainkan dimainkan secara pizzicato. Melodi lagu justru dipegang oleh double bass yang dimainkan oleh Donny Sunjoyo dengan sangat manisnya. Para penonton tampak larut dalam ritme itu.
Piano Dwiki kemudian masuk dalam lagu Paris Barantai. Kali ini nada-nada pentatonis itu diobrak-abrik olehnya dalam nuansa jazzy. Terdengar sangat etnis.
Malam itu, Dwiki dan kawan-kawan yang berpenampilan serba hitam mempersembahkan 10 lagu. Selain tiga lagu di atas, mereka memainkan beberapa lagu lainnya, seperti Tribal Dance, Janger, Numfor, Rindu Kami Padamu, dan Jazz for Freeport.
Sebagai lagu penutup, Dwiki memilih The Spirit of Peace. Tema lagu dengan corak Arabian ini dimunculkan hampir di tengah-tengah lagu. Agak mengagetkan, karena tidak seperti yang kita dengar dalam album Dwiki Dharmawan World Peace Orchestra, tema tersebut sudah muncul di awal lagu. "Dalam album memang dibuat lebih pop," Dwiki menjelaskan.
Dwiki mencoba seinteraktif mungkin dengan para penonton dalam lagu ini. Penonton diajaknya bertepuk tangan sebagai pengganti perkusi. Repertoar pun menjadi semakin hidup. Bravo!
ISMI WAHID