Para komedian itu pun tak pendek akal. Mereka kemudian merebut perhatian dengan mencoba menertawakan perilaku para politikus itu--tentu saja bukan untuk balas dendam.
Begitulah guyonan yang disajikan para komedian itu dalam musikal Laskar Dagelan: From Republik Jogja with Love di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa dan Rabu lalu. Sepanjang dua hari pementasan, gedung pertunjukan dipadati penonton yang haus akan banyolan gaya Yogya yang cerdas. Kebanyakan dari mereka adalah orang urban asal Yogya atau pernah berada di sana lalu jatuh hati dengannya.
Laskar Dagelan adalah musikal dagelan pelesetan yang memparodikan isu-isu hangat media dengan gaya Yogya. Pelesetan sendiri sudah menjadi kultur orang Yogya, yang akarnya sebetulnya bisa dilacak dari guyon parikena, dagelan Mataraman Basiyo.
Menurut seniman Butet Kertaradjasa sebagai tim kreatif, Laskar Dagelan adalah pelesetan dari drama musikal Laskar Pelangi garapan Mira Lesmana dan Riri Riza yang dipentaskan pada awal 2011. Tapi pertunjukan ini tak dipenuhi lagu hingga dialog yang dibumbui iringan musik seperti musikal pada umumnya.
Laskar Dagelan adalah drama yang memfragmenkan lagu rap milik Jogja Hip Hop Foundation yang digawangi oleh Marzuki Mohammad. "Lagu-lagu itu dikumpulkan, baru kemudian naskah disusun untuk menjadi cerita utuh," ujar Agus Noor, penulis naskah ini. Tiap-tiap lagu yang dinyanyikan pasti didahului oleh adegan banyolan sebagai pengantarnya.
Seperti awal adegan, punakawan yang diperankan oleh Joned, Wisben, Gareng Rakasiwi, dan Yu Ningsih yang berperan sebagai penjual gudeg. Para komedian Yogya ini kerap muncul dalam acara Obrolan Angkringan di stasiun TVRI Yogya. Isinya, mereka memperbincangkan segala hal dan membahasnya dengan dagelan. Cara ini mereka bawa dalam fragmen musikal tersebut. Tak mengherankan jika bayangan kita akan tertuju pada satu suguhan program acara itu.
Selain mereka, tampil pula Susilo Nugroho, pemain Teater Gandrik. Sesekali warna Gandrik juga meruap di sana. Susilo berperan sebagai Den Sus, tanpa 88, seorang kejawen dan selalu menjajakan batu akik sebagai pengasihan kepada Hanung Bramantyo, yang memerankan sutradara dari Jakarta.
Pentas berdurasi sekitar dua jam itu selalu ingin menyentil apa yang paling hot dalam dunia media, termasuk politik. Mereka selalu mempertimbangkan sajian dengan berita terbaru. Misalnya Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang sempat kisruh. Atau, berita seorang politikus yang beberapa waktu lalu mengalami insiden salah masuk pesawat. Ini menjadi garapan guyonan mereka. Bahkan banyak isu lain yang mereka garap dengan getir.
Tiap aktor memiliki gaya atau siasat pribadi untuk mengolah bahan menjadi pelesetan. Meski banyolan itu selalu muncul dalam dagelan sebelumnya di Yogya, guyonan mereka tetap segar dan tak membosankan.
Itulah tantangan Djaduk Ferianto sebagai sutradara. Para aktor terbiasa berlatih dalam atmosfer seni tradisi. Dagelan yang muncul acap lebih greng jika sudah berada dalam pentas. "Improvisasi bisa muncul tak terkendali. Kita terbatas oleh waktu," kata Djaduk.
Meski ada ruang-ruang improvisasi yang ditoleransi, menurut Djaduk, para aktor harus tetap patuh oleh naskah. Pola ini semakin mengukuhkan bahwa taktik dramaturgi teater tradisi yang sederhana jika diolah sedemikian rupa akan menjadi tampilan kontemporer yang berbobot.
Seperti Marwoto yang memerankan punggawa Keraton. Dari awal, ia memang diset menjadi punggawa yang sok tahu mengerti segala hal, meluap-luap tetapi ternyata arahannya tak berbobot. Saat latihan, peran itu tak begitu terlihat. Begitu gladi resik mencobakan panggung dan pencahayaan, pamor ketokohannya segera muncul. Maka Djaduk mendaulatnya untuk mempertahankan itu.
Kekuatan para aktor juga ditunjukkan melalui keterampilan mereka berbalas canda atau memanfaatkan properti. Seperti saat Den Sus harus memimpin strategi untuk protes pada Presiden untuk mempertahankan status keistimewaan Yogya. Susilo memanfaatkan kartu brigde untuk menggambarkan pihak-pihak yang menjadi sasaran. Kartu As, misalnya, digambarkan sebagai Senayan. Lalu Jack adalah Istana. Dan kita akan ketawa saat giliran kartu King-Queen, ia gambarkan sebagai kompleks Taman Lawang yang berisi waria.
Semua lagu yang dinyanyikan adalah karya Jogja Hip Hop Foundation. Hip hop dipilih karena genre ini mewakili modernisme, budaya yang bukan berasal dari Yogya yang hormat terhadap kultur budayanya. "Yogya adalah sebuah proses yang terus tumbuh. Tak menutup perubahan dan kemajemukan," ujar Butet.
Jogja Hip Hop Foundation, grup hip hop yang mengusung lirik lagu berbahasa Jawa, menjadi satu di antara banyak magnet dalam pertunjukan musikal tersebut. Mereka saling menguatkan dengan gaya yang sama-sama khas. Apalagi kehadiran So'imah yang memerankan Show Imah, sinden kosmopolit yang berkolaborasi dengan hip hop.
So'imah juga berperan sebagai perempuan muda yang kepincut dengan sutradara Jakarta (diperankan Hanung). Kekenesannya yang ditampilkan dengan lugu dan ndheso membuat para penonton tergelak.
Akhir ceritanya sangat sederhana dan terlihat dipelesetkan. Sutradara dari Jakarta itu tak memilih sang perempuan muda cantik, tapi justru menjatuhkan pilihan kepada Yu Ningsih, penjual gudeg tua yang kerap jadi bulan-bulanan, ibu Show Imah. Gendheng!
ISMI WAHID