Pameran mempertontonkan cara Sudiarta mentafsirkan seksualitas dengan menggunakan idiom tradisi tapi sekaligus mewakili corak kekinian. Pameran yang berlangsung sepanjang 31 Maret hingga 8 April 2011 nanti itu sekaligus meneguhkan cita-cita Sudiarta untuk menunjukkan kegelisahnnya melalui seni di atas kanvas. “Saya berharap akan dinikmati oleh semua warga,” ujar Sudiarta.
Ia sendiri adalah perupa kelahiran Peliatan, Ubud, Bali, 23 April 1969. Saat ini ia mengajar Seni Rupa di Universitas Pendidikan Ganesha Bali. Dalam kurun waktu kesenimanannya ia sempat melakoni proses kreatifnya dengan berguru kepada Wayan Gandera, Ketut Djudjul, Wayan Daging, dan Wayan Barwa. Mereka adalah para pelukis tradisi Bali yang sangat mumpuni.
Menurut kurator pameran, Hardiman, dalam pameran tunggal di Bentara Budaya Bali kali ini ada dua hal yang mengemuka, yakni bahasan seksualitas dan bahasa formal senirupa. “Perkara seksualitas yang diajukan I Wayan Sudiarta adalah perkara tipe kepribadian yang, oleh masyarakat dominan, sering disebut sebagai ‘abnormal’,” ujarnya.
Hardiman menambahkan, suatu kepribadian bisa dikategorikan ‘normal’ bila sesuai dengan tipe kepribadian yang dominan. “Kepribadian yang sama, bila tidak sesuai dengan tipe kepribadian dominan akan dianggap ‘abnormal’ atau menyimpang (deviant).”
Perkara yang dianggap menyimpang itu dihadirkan dalam sejumlah karya dua dan tiga dimensi yang menonjolkan kecenderungan ‘keluar dari persembunyian’ (out of the locker).
Pelukis yang sempat berpameran di Singapura, Jerman, dan Italia, serta banyak tempat di dalam negeri itu juga dipandang mampu mempertautkan sejumlah dialek rupa tradisi Bali dan idiolek miliknya dalam merespon persoalan global. Ia pun menyadari bahwa budaya global merupakan fenomena yang terbentuk dari berbagai citra serta pertarungan aneka definisi yang penuh kontradiksi.
ROFIQI HASAN