TEMPO Interaktif, Jakarta - Formasi trio, bertiga, barangkali sudah seusia musik populer --kita tak pernah ingat persis siapa yang memulai. Ia muncul di musik pop, blues, musik rock. Ia juga kerap lalu lalang di lanskap jazz. Ada yang fenomenal, tak sedikit pula yang lewat begitu saja. Tapi sejauh ini masih juga ada yang tergoda dan berminat mencobanya. Dan Tohpati termasuk di antaranya, melalui Tohpati Bertiga, dengan hasil yang, harus diakui, seperti kue langganan kita.
Di proyek mutakhirnya ini Tohpati menghimpun Indro Hardjodikoro, pembetot bas yang sudah bermain bersamanya sejak sekolah menengah atas, dan Adityo Wibowo atau Bowo (juga Bowie), penggebuk drum yang kini lebih dikenal sebagai personel (juga merupakan grup trio) Gugun Blues Shelter. Indro bisa dianggap reguler dalam karier Tohpati, sedangkan Bowie, ya, dialah yang harus disebut sebagai point of interest di sini; Bowie sangat boleh diduga merupakan alasan atau faktor yang membuka kemungkinan trio ini diwujudkan.
Jika disimak seluruh komposisi di album yang dengan jitu diberi judul Riot ini, kita bisa mengerti kenapa Bowie menjadi penting. Lebih dari sekadar energi rock yang memang terasa menonjol, juga elemen progresif dan ruang improvisasi yang terbuka lebar pada materinya, album ini bagaimanapun merupakan etalase bagi satu adonan musik dengan napas funk yang pekat. Sebagian besar dari delapan komposisi di dalamnya adalah konstruksi nada-nada dalam denyut funk yang menggairahkan, bahkan terasa “membakar”: sulit rasanya syaraf-syaraf bisa tahan untuk tak menggerakkan bagian-bagian tubuh. Ini sudah dimulai dari nomor pembuka, Rock Camp.
Dan Bowie berperan besar di sana. Pukulan-pukulan drumnya intens, dengan eskalasi ritme yang cenderung bagaikan tembakan senapan mesin; sinkopasinya tak jarang mengejutkan. Dan lebih dari semua itu: tenaganya merupakan faktor penting yang, selain mampu menjaga laju ayunan musik, juga membubuhkan intonasi yang keras dan kencang. Berpadu dengan betotan bas Indro yang lentur dan perkusif di sana-sini, drumming Bowie membangun fondasi funk nan kukuh berupa rhytmic groove yang kuat.
Cobalah perhatikan I Fell Great. Nomor ini masuk begitu mulus tak lama setelah nomor pembuka berakhir. Betotan bas Indro, berupa pola not yang diulang-ulang, mengayun membuka komposisi, berpadu dengan pukulan drum Bowie: suasana riang dibangun dari sini. Bowie, yang memang sudah intens main-main dengan funk (yang diramu dengan blues) bersama Gugun Blues Shelter, efektif menjaga fondasi, tapi juga sekaligus royal membubuhkan suasana riuh di sana-sini dengan aksen-aksen cymbal-nya yang kerap di luar ketukan.
Dengan rhythm section yang begitu padu, sudah seperti sejoli saja (mengingatkan kekompakan, misalnya, Billy Cobham dengan Rick Laird di Mahavishnu Orchestra pada 1970-an), ruang menjadi seperti terbuka luas bagi Tohpati untuk berbuat apa pun dengan gitarnya. Dan itulah yang dia lakukan, dengan sangat prigel. Nomor ketiga, Bertiga (pasti ini disengaja penempatannya), menjadi salah satu momen ketika dia seperti bersenang-senang. Dia mengekspose bebunyian, melalui permainan efek, dan juga pengerahan teknik yang menjadikan gitarnya bagaikan menyanyi, mengerang, menjerit, berteriak...apa saja.
Nomor lain yang memikat adalah Upload, Middle East, dan tentu saja Riot. Pada Upload yang berdurasi hampir delapan menit, Tohpati seperti menunjukkan bahwa dia pun menyimpan amunisi untuk melancarkan permainan yang ingar dan, ya, heavy. Ada bagian yang bagaikan ekskursi ke monumen-monumen yang dibangun Robert Fripp melalui King Crimson. Sedangkan Middle East memamerkan teknik legato yang kemudian dieksplorasi lebih jauh di nomor penutup, Riot. Ini mengingatkan kita pada Alan Holdsworth.
Selain Holdsworth, kita bisa merasa mendengar Jeff Beck, atau Scott Henderson yang pernah memperkuat Chick Corea Elektric Band. Atau generasi gitaris yang lebih mudah seperti Greg Howe dan Richie Kotzen (ya, Kotzen yang pernah di Poison dan Mr. Big). Tapi, siapa pun yang terbayang, satu hal jelas: semua itu menjadi penanda bahwa Tohpati punya kekhasannya sendiri. Bagi mereka yang terkesan pada penampilannya dalam Demi Masa (simakDialog) dan proyek solo Save the Planet ( Tohpati Ethnomission), album yang mulai dilepas saat Java Jazz yang baru lalu ini mestinya bisa dipahami sebagai kelanjutan yang logis belaka.
Di sini, paling tidak, Tohpati menujukkan betapa trio boleh tua sebagai formasi, tapi masih ada yang bisa dilakukan untuk mencegahnya menjadi lembek dan usang.
Purwanto Setiadi