Malam itu, dalam pertunjukan bertajuk “Reunian Ketoprak Humor Samiaji” tersebut, kelompok teater tradisional itu membawakan lakon Damarwulan-Menakjingga arahan sutradara Aries Mukadi. Lakon yang dpentaskan itu merupakan kisah yang sangat populer, terutama bagi masyarakat Jawa. Kisah tersebut acap ditampilkan dalam tarian, wayang, maupun teater rakyat seperti ketoprak.
Damarwulan-Menakjingga berkisah tentang Damarwulan yang mendapat perintah Ratu Ayu Kencanawungu dari Majapahit untuk mengatasi pemberontakan Menakjingga. Damarwulan akhirnya berhasil memenggal kepala Menakjingga dan kemudian dibawanya ke hadapan sang Ratu.
Lakon itu merupakan kisah yang penuh intrik dan politik. Pengemasan ceritanya biasanya dikonsep dengan sangat serius. Tapi, lewat pementasan Ketoprak Humor, kisah yang berat dan menegangkan itu justru berubah ringan, segar, dan sarat dagelan yang menggelitik. Bahkan sosok Menakjingga, yang berani menantang Ratu Kencananawungu dari Majapahit, bisa berkelakar dengan renyah.
“Ngiung..ngiung..ngiung.. aduh aku lupa pantunnya,” kata tokoh Menakjingga seraya melongo. Itulah salah satu lontaran banyolan Kadir yang “ditakdirkan” menjadi Menakjingga, dengan wajah dilukis merah dan putih mirip Bagong. “Makanya kalau latihan itu datang,” seloroh anak buahnya. Sontak tempik riuh dan gelak tawa para penonton pun membahana.
Penampilan Ketoprak Humor malam itu telah membawa para penonton bernostalgia dengan teater tradisional yang sempat popuker di Stasiun RCTI tersebut. Para penonton juga kembali bernostalgia dengan anggota Srimulat, karena sebagian besar pemain Ketoprak Humor berasal dari grup lawak legendaris yang telah lama vakum itu, seperti Tarsan, Eko, Nunung, Tessi, Nurbuat, dan Kadir.
Selain itu, tampil pula para pengocok perut lainnya: Marwoto, Doyok, Polo, Topan, dan Kirun. “Ini banyolan kuno, yo tetep diketawain,” seloroh Kirun. “Ya, penontonnya ketahuan juga pada kuno,” ujar Kirun menambahkan. Gelak tawa pun kembali pecah.
Derai tawa para penonton lagi-lagi pecah ketika Marwoto menimpali Kirun. Menakjingga, tutur Marwoto, punya singkatan tersendiri. “Miring kepenak, njengking monggo”.
Malam itu, para pemain Ketoprak Humor yang kocak-kocak itu tampil mengenakan pakaian Kerajaan Majapahit. Alkisah, sosok Damarwulan yang digambarkan sangat tampan dan gagah memikat para selir Menakjingga, Waeta dan Puyengan. Saat bertempur melawan Menakjingga, Damarwulan mendapat bantuan dari para selir itu. Damarwulan pun berhasil menaklukkan Menakjingga dan merebut dua senjata sakti yang menjadi kuncian lawan, gada besi kuning dan pedang panjang bersarung emas.
Tapi, lagi-lagi pertempuran sengit dan menegangkan itu kembali dibawa ke suasana dagelan yang renyah dan segar. Ketika dua saudara Damarwulan, Layang Seto dan Layang Kumitir, yang diperankan oleh Eko dan Doyok, hendak membunuhnya, konspirasi jahat itu berubah menjadi banyolan nan menggelitik. Doyok yang kocak berulangkali salah menusuk, meski akhirnya Damarwulan kemudian terkapar.
Ternyata, di atas pentas Damarwulan terkapar bukan lantaran tusukan keris Doyok, melainkan dia kaget karena pemain gamelan memukul gong secara tiba-tiba. Bunyinya keras dan mengagetkan. “Aku mati karena kaget,” ujar Damarwulan sebelum tergeletak di panggung. Gelak tawa para penonton pun lagi-lagi meledak.
Ya, selain menjadi ajang nostalgia dan reuni, pentas Ketoprak Humor Samiaji malam itu benar-benar berhasil mengocok perut para penonton. Banyolan yang bertebaran sepanjang pementasan membuat gelak tawa terus berderai-derai tiada henti. Dan Gedung Kesenian pun terus bergetar.
AGUSLIA HIDAYAH