Begitulah perupa Chusin Setiadikara menangkap sudut pasar tradisional di Pulau Dewata itu dan kemudian dipindah dalam bidang kanvas. Ia ingin menampilkan subyek yang tidak sadar kamera. Dan karena itulah, subyek yang terengkam dalam lukisan realis itu tak menampilkan kepentingan lain.
Beberapa lukisannya kini tengah dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Mengambil judul �Chusin's Realistic Painting. A Thesis”, pameran tunggal itu akan berlangsung hingga 25 Maret nanti.
Pada lukisan berjudul Kintamani Market, Chusin sebetulnya ingin menampilkan keadaan yang sebagaimana adanya. Menurut Jim Supangkat, yang mengkurasi pameran ini, Chusin tidak ingin lukisannya ditampilkan seperti sebuah poster yang menampilkan suatu pendapat.
Perupa kelahiran Bandung, Jawa Barat, pada 1949 itu tak ingin lukisannya menampilkan sesuatu pendapat dan terkesan menghindari konspirasi antara dirinya dan subyek yang ia gambar dalam menyampaikan pendapat. "Chusin mendambakan kejujuran pada dirinya maupun pada subyek yang dilukisnya," ujar Jim seperti dalam katalog.
Sudah lama Chusin memilih menetap di Bali. Ia mengagumi tradisi Bali tetapi juga mengkritisi pendapat yang mempropagandakan konservasi tradisi. Chusin banyak menangkap perubahan sosial di lingkungannya. Serial lukisan yang menggambarkan pasar Kintamani itu tak lain adalah ekspresi perasaannya yang menyayangkan pasar tradisional tersebut lambat laun berubah menjadi pasar modern berdasarkan program pembangunan pemerintah.
Simak juga seri lukisan Bali yang mengambil obyek anak-anak. Empat seri lukisan dengan subyek yang sama yaitu seorang gadis cilik. Cermati lukisan berjudul Gadis Puri I (1991), Gadis Puri II (1994), Sight (1994), dan Innocent (1996). Seluruh pose anak perempuan itu frontal. Wajahnya menatap jelas kepada kamera.
Menurut Jim, Chusin seperti berubah sikap ketika menghadapi anak-anak. "Ia seperti meninggalkan sikap tidak berpendapat," ujarnya.
Pada kebanyakan lukisannya, Chusin berusaha tak melibatkan emosi karena ingin mencari karakter mendasar. Tapi, ketika menggambar anak-anak, Chusin meninggalkan itu. Caranya itu justru menguatkan tampilan perilaku mendasar pada anak-anak yang penuh rasa ingin tahu, ceria, tidak peduli, dan bahkan pemalu. Ekspresi semacam ini terkadang pada kenyataannya tak segera terlihat dalam sebuah hasil fotografi.
Chusin tak sekadar pelukis realis. Ia masih setia dengan sketsa yang membangun obyek-obyek realis dan detil sebagai proses penyelesaiannya. Sekaligus ia menguasai teknik melukis secara realistik.
Menurut Jim, dengan kecanggihan teknologi saat ini, bisa saja seorang perupa realis memanfaatkan in-focus pada pembuatan sketsa maupun penyelesaian detil gambarnya. Tapi, Chusin tak memerlukan perangkat-perangkat itu.
Untuk pembuatan sketsa lukisan realistik berukuran besar, Chusin mengatasinya dengan keharusan maju-mundur tak lain untuk menyesuaikan jarak pandang. Bahkan ia memancangkan konte pada ujung tongkat sepanjang satu setengah meter. Dengan tongkat yang telah dilengkapi konte ini, Chusin membuat sketsa jarak jauh.
ISMI WAHID