Salah satu diantaranya adalah paguyuban Sumarah Purbo, Paguyuban Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, Paguyuban Tris Soka, paguyuban Sumarah Purbo, dan paguyuban Sapta Darma.
Menurut Peneliti Budaya Suwardi dalam ujian promosi untuk memperoleh gelar doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM, alasan para pengikut kepercayaan kejawen masih mempertahankan keyakinannya adalah keinginan mengaktualisasikan budi luhur dan budi pekerti untuk menjadi ‘manusia utama’ guna mencapai ketenteraman hidup.
“Budi lulur dipahami sebagai budaya ideal dan budi pekerti sebagai pedoman pekerti yang dipertahankan dan dikreasi menjadi doktrin, “kata Suwardi dalam rilis yang diterima Tempo hari ini.
Suwardi yang kini menjadi staf pengajar pendidikan bahasa jawa Universitas Negeri Yogyakarta ini mengatakan sebagian para pengikut kejawen ini mempertahankan budi luhur dan budi pekerti meski mereka telah memeluk agama tertentu.
Namun ada juga para penghayat kejawen yang tetap enggan memeluk agama. “Mereka merasa damai, nyaman dan tidak gelisah mengikuti kepercayaan kejawen ini,” ungkap pria kelahiran Kulon Progo ini.
Dalam paguyuban kejawen, budi luhur dianggap lebih sakti untuk melawan kegelisahan batin, melawan agamaisasi dan menjanjikan keselamatan kosmologis hingga kelak dapat meraih manunggaling kawula Gusti. Bahkan dalam hidup bermasyarakat diaktualisasikan dengan sikap toleransi, tepa selira, ikhlas dan mengedepankan watak moral sepi ing pamrih.
UGM