Di tempat itu, Martion mengeksplorasi seluruh sisi ruang sebagai lokasi pementasan. Sebuah miniatur rumah gadang didirikan di halaman. Atapnya terbuat dari jerami dengan dinding gedek. Di depannya, tiga tiang kayu setinggi 6-7 meter dipancangkan di halaman. Ujungnya menyatu hingga membentuk kerucut. Di bawah tiang-tiang itulah, tungku-tungku api dengan panci dan wajan di atasnya diletakan.
Sejak awal pementasan dimulai, suara seruling bambu meliuk-liuk menjadi pengiring masuknya para penari, tujuh perempuan dan seorang lelaki, yakni Martion sendiri. Mereka semua mengenakan pakaian adat Minangkabau. Di sela ritual tari itu dua lelaki tampak sibuk memasak.
Baca Juga:
"Kurang asin, tambah garam." Atau, "kurang pedas, tambah cabe", jadi lontaran mereka di sela hiruk-pikuk suara rebana dan gamelan yang dipukul bertalu-talu. "(Kesibukan meracik bumbu seperti itu) dari memori saya sendiri," kata Martion usai pementasan.
Lepas dari acara di halaman, sedikitnya seratusan orang yang datang di pementasan itu diajak masuk ke dalam restoran. Mereka dijamu makan. Aneka hidangan; rendang, gulai, kolak, sayuran, jajanan ringan hingga aneka minuman, terhidang di atas meja. Semua bebas memilih dan menyantapnya.
Bajamba Gadang, pada dasarnya diciptakan Martion untuk menggondol gelar doktor penciptaan seni tari di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Bukan tanpa alasan perpaduan itu dihasilkan. Dengan latar belakang pendidikan seni tari, Martion adalah pakar memasak. Kemampuan itu diwarisi dari keluarganya yang terkenal sebagai ahli memasak.
Bagi Martion, ibarat sebuah tarian, butuh sebuah penghayatan dalam memasak. Meski terbilang ahli memasak, jika sedang tak mood, dia mengaku masakan yang dihasilkan tak terlalu lezat.
Memasak pun, Martion menambahkan, tak jauh berbeda dengan menari. Jika tiap penari punya ciri khasnya sendiri, dalam memasak pun demikian, tiap pemasak pun punya. Dengan bumbu yang sama citarasa masakan yang dihasilkan bisa jadi berbeda jika pemasaknya berbeda.
Secara umum, Bajamba Gadang berarti makan besar. Seni kreatif itu berusaha mengekplorasi tradisi memasak dan makan bersama di Minangkabau melalui tarian, musik, dan sajian kuliner. "Akar budayanya dari adat Minangkabau," Martion menjelaskan.
Dicky Tjandra, rekan Martion sesama mahasiswa S3 di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, bidang penciptaan seni berpendapat, Martion adalah maestro pemasak. Tak hanya paham seluk beluk rasa masakan, Martion bahkan paham hingga ke warna masakan yang dihasilkan. Ibarat melukis, Martion bisa menentukan jika cabai satu dicampur cabai tertentu hasilnya akan berwarna tertentu pula. "Sudah tak ngomong soal rasa lagi, tapi warna bumbunya apa, dia tahu," kata Dicky.
Menurut Dicky, memasak dan makan bukan sekadar aktifitas untuk memenuhi kebutuhan perut saja. Namun, sekaligus interaksi antar manusia, keluarga hingga masyarakat. "Kesadaran semacam itulah yang coba diangkat Martion dalam kreasi seni temuannya."
@
ANANG ZAKARIA