Kisah Yudi terurai dalam pentas tari bertajuk Andai, yang digelar di Teater Salihara, Jakarta, Kamis dan Jumat malam pekan lalu. Andai dibawakan seorang diri oleh Yudistira Syuman. Yudistira adalah penari sekaligus koreografer yang menyelesaikan sekolah tari di Ballet Sumber Cipta. Setelah lulus pada 1985, kakak kandung musisi Aksan Syuman ini lalu melanjutkan studi di Folkwang Hochshule, Essen, Jerman. Di sana ia mempelajari balet klasik, tari modern, dan flamenco. Setelah lulus, ia bergabung dengan Folkwang Tanz Studio Company dan pentas atau berkolaborasi dengan seniman-seniman Eropa.
Di balik kecemerlangan bakat menarinya, Yudi menyimpan sebuah cerita. Dia pernah mengidap penyakit skizofrenia, semacam gangguan jiwa psikotik paling lazim yang ditandai dengan hilangnya perasaan afektif atau respons emosional. Pengalaman hidupnya ini dibagikan kepada orang lain melalui pertunjukan yang memberinya inspirasi untuk menciptakan Andai, apa saja yang terjadi ketika ia berhalusinasi. Yudi mencoba menyelami kehidupan seorang manusia yang tak berdaya dalam ruang imajinasinya. Terkungkung, dikucilkan, tapi dielu-elukan dunia halusinasinya.
Pertunjukan diawali dengan kegiatan rutin Yudi pada pagi hari, yakni sarapan dengan setangkup roti dan segelas kopi. Mukadimah ini boleh dibilang menjemukan. Yudi mengambil satu per satu alat makannya. Dengan amat perlahan, dia mengoles margarin di atas roti, menaburkan meses cokelat, serta meracik kopi dan gula ke dalam gelas keramik. Sesekali ia terhenti dengan mata berkedip menatap tajam benda-benda itu, lalu memegangi perutnya yang buncit. Air mukanya selalu kencang, seolah ia tengah berpikir keras terhadap segala sesuatu di hadapannya.
Dengan kaus belel dan piyama garis yang lusuh, laki-laki itu lalu beranjak ke muka cermin. Bagi penonton yang duduk di sudut, sesi ini tak terlihat jelas karena pantulan cermin hanya setengah. Diiringi denting piano yang mengalunkan repertoar Vexation, gubahan pianis asal Prancis, Erik Satie, dia bersolek. Yudi merapikan rambutnya lalu mengenakan jas. “Ayolah, Yud, kita dendangkan nada-nada itu, jangan kau risaukan,” ujar suara-suara tak berwujud. Yudi bergumam, ia mengikutinya dengan ragu. Suara-suara itu terus merayu, hingga Yudi menari-nari. Sesi ini menampilkan sedikit koreografi Yudi yang berulang-ulang, dengan gerakan yang tak lincah. Nomor tari ini malah lebih banyak menampilkan cerita teatrikal ketimbang mengumbar gerak tari Yudi secara maksimal.
Yudi selalu menuruti perintah suara-suara yang kian banyak itu. Dia menyiram bunga, mempreteli kelopak bunga, sebelum akhirnya membuang dan menginjak-injak bunga itu. Namun, setelah semua perintah ia laksanakan, suara-suara itu justru menuduhnya sebagai orang jahat. “Kau jahat, Yud,” teriak suara-suara itu. Yudi belingsatan, berguling-guling dan meronta-ronta, memprotes ejekan itu. Tangannya mencengkeram lehernya, lalu mengangkat tubuhnya hingga jinjit. Yudi berteriak, “Mama!”
Baca Juga:
“Aku adalah aku dan aku telah merasukimu, kau gila. Ayo pukul dia (Yudi),” perintah suara. Yudi bergegas menyakiti diri sendiri sampai berdarah. Noda merah menempel di kaus dan keningnya. Dalam pementasan ini, peran ilustrasi suara menjadi fondasi utama penonton untuk mengikuti jalan cerita Andai. Jika tidak ada, mungkin penikmat akan tersesat.
Memasuki sesi puber, Yudi mulai menyukai wanita. Suara membujuknya agar mendekap erat perempuan yang diwakilkan dengan sekuntum bunga yang sedari awal pertunjukan gugur satu per satu dari atas panggung. “Renggut sarinya,” suara seorang perempuan membujuknya. Ia pun menyerak bunga-bunga hingga rontok. Dengan hasrat manusiawi, Yudi menggagahi guling dari ujung ke ujung.
Setelah itu, Yudi bermangu duduk. Ia mulai bicara, “Namaku luka. Aku tinggal di lantai dua. Aku tidur di atas kamarmu. Kau pasti sebelum ini pernah melihatku. Bila kau mendengar sesuatu di tengah malam, seperti masalah atau pertengkaran, janganlah kau tanyakan padaku apa itu. Aku pikir aku hanya ingin sendiri. Tidak ada yang salah atau disakiti. Hanya jangan tanyakan padaku bagaimana.” Yudi pun berjinjit dan berusaha terbang. Ia melangkah setapak demi setapak. Suara-suara pun meneriakinya. “Hey, Yudi mulai meninggalkan kitaaa!” Panggung pun berangsur gelap.
AGUSLIA HIDAYAH